Last Updated on 1 April 2021 by Herman Tan Manado
Dinasti Qing (1644-1912) atau Qing Chao (清朝) adalah dinasti terakhir di daratan Tiongkok (China), dan dinasti terpanjang yang dipimpin oleh orang/suku asing (orang Manchu dari Manchuria, timur laut dari Tiongkok). Saat ini sekitar ±10 juta orang dari suku Manchu tinggal di propinsi Liaoning dan sekitarnya.
Dinasti Qing sendiri memiliki kontak (hubungan) dengan luar negeri terbanyak. Tiongkok sejatinya mendapatkan kejayaannya di masa keemasan Qing, tapi mengingat adanya perdagangan paksa dan berbagai perjanjian yang tak adil di era ini, sedikit menurunkan citranya di mata orang.
A. Fakta Singkat Tentang Dinasti Qing (1644-1912) :
• Dinasti Qing yang dipimpin oleh suku Manchu, sementara pendahulunya Dinasti Ming (1368–1644) dipimpin oleh suku Han.
• Ibukota Kekaisaran Qing adalah Beijing, dimana kaisar-kaisar memerintah dari Kota Terlarang.
• Di masa industrialisasi (1700-1800-an), Tiongkok kala itu masih bersifat tradisional dan belum berkembang laiknya Negara barat.
• Dinasti ini awalnya makmur, namun terjadi penurunan akibat bencana alam dan serangan dari 8 Negara asing, hingga akhir masa kekuasaannya.
• Dinasti ini bertahan selama 268 tahun, dinasti kekaisaran terlama ke-5 di dunia. Meskipun selama kurun waktu tersebut, terdapat banyak pemberontakan menggulingkan kekuasan Manchu,
• Berakhirnya dinasti ini diikuti dengan lahirnya era Republik Tiongkok (1912–1947).
Usai Dinasti Qing runtuh dan menyerah imperialisme barat, maka “dibagilah” wilayah2 Tiongkok LAIKNYA SEBUAH KUE kepada 8 Negara sekutu yang bersama-sama menjajah pada saat itu, yakni Austria-Hongaria, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat.
Kepingan terakhir yang kembali adalah wilayah Macau (ex.Portugal) pada tahun 1999, 2 tahun setelah Hong Kong (ex.Inggris) dikembalikan pada tahun 1997.
Baca juga : Suku Manchu
B. Asal Mula Qing – Kebangkitan Manchu (220-1644)
Orang Manchu awalnya terkonsentrasi di sebelah Timur laut Tembok Besar.
Mereka menjaga wilayah utara Tembok Besar dalam dinasti selanjutnya, dan ditaklukan oleh bangsa Mongol, yang kemudian mendirikan Dinasti Yuan (1279-1368) dari Mongol. Bangsa Mongol dan Jurchen kemudian berhasil diusir ke utara, hingga keluar dari Tembok Besar oleh Suku Han dari Dinasti Ming (1368–1644).
Baca juga : Dinasti Han, Dinasti Kekaisaran Terpanjang (Terlama) di Tiongkok
1. Nurhaci Menyatukan Orang Manchu (1559-1626)
Orang Manchu bersatu ketika seorang pemimpin dari suku Jurchen bernama Nurhaci (1559-1626) mengalahkan suku2 Jurchen lain tahun 1582. Mereka menundukkan Mongol, dan menarik pasukannya untuk bergabung. Seperti cara Genghis Khan, dia memanfaatkan tenaga dan pengetahuan orang-orang yang ia taklukan.
Tahun 1625, Nurhaci memulai serangan dan merebut “kota penjaga” (pemukiman militer terbesar) Dinasti Ming di Shenyang. dan menjadikannya ibukota Manchuria. Kemudian, satu per satu dari kota2 kekuasan Ming jatuh, dan pindah dibawah kekuasaan kekaisaran Manchu.
Hingga kini, Anda masih dapat menjumpai Istana Kekaisaran Shenyang (Mukden Palace) di Liaoning, yang pernah digunakan oleh penguasa awal Manchu.
2. Hong Taiji Melanjutkan Serangan (1626-1643)
Penerus Nurhaci adalah anak laki-lakinya, bernama Hong Taiji (1592-1643). Dia melanjutkan serangan pada wilayah2 kekaisaran Ming, memperkuat pasukan artilerinya dengan senjata teknologi Eropa, dan membeli (seludupan) meriam2 buatan bangsa Ming sendiri. Ia membuat satuan pasukan artilerinya sendiri di tahun 1634.
kekaisarannya awalnya disebut Dinasti Jin Akhir, tapi pada tahun 1636, dia mengganti namanya menjadi Kerajaan Qing Raya. Kata Qing (清) secara harafiah berarti “bersih”, dan berkonotasi dengan bersih dan segar. Mungkin, maksudnya ia ingin memulai awal yang baru, yang benar2 berbeda dengan Dinasti Ming sebelumnya.
Hong Taiji wafat tahun 1643, dan anaknya, Fulin, menggantikannya memimpin kekaisaran Manchu.
3. Li Zhizheng, Pemberontak Ming Merebut Beijing (1643-1644)
Selain menghadapi serangan Manchu dari utara, Dinasti Ming juga menghadapi pemberontakan sipil. Li Zicheng muncul sebagai pemimpin seluruh tentara pemberontak, dan merebut Beijing dengan perlawanan minim di tahun 1644.
4. Gerbang Tembok Besar “Sengaja Dibuka” Untuk Manchu (1644)
Li Zicheng kemudian mengirim tentara untuk menyerang sisa2 pasukan Ming yang menjaga perbatasan. Jenderal Wu Sangui dan tentaranya, yang sedang mempertahankan Tembok Besar dari serangan Manchu di Pintu Shanhai (Shanhaiguan).
Tapi bukannya menyerah pada pemberontak Ming, Wu Sangui malah berpihak pada pihak asing, Manchu, dengan membuka gerbang dan membiarkan mereka melewati gerbang Tembok Besar. Tentara Manchu yang telah memasuki wilayah Ming pun segera menghabisi para pemberontak terakhir Dinasti Ming, dan merebut Beijing dari tangan mereka ditahun itu juga (1644).
Baca juga : Dinasti Ming, Dinasti Dari Suku Han Tiongkok Terakhir
C. Awal Dinasti Qing (1644-1912)
Pada tahun 1644, kaisar terakhir Dinasti Ming, Zhu Youjian (Kaisar Chongzhen) memilih untuk gantung diri daripada menyerah, setelah ibukota ditaklukkan (sebelumnya dia menghabisi nyawa para permaisuri dan selir, beserta putri-putrinya, ketimbang ditangkap dan menjadi budak dari musuh).
Wilayah Tiongkok pun berada dalam kekacauan selama berbulan-bulan. Wu Shangui bersama pasukannya yang telah membelot, bersama pasukan Manchu pun segera melakukan invasi ke wilayah selatan, menundukkan semua pemberontak disana.
Tanggal 30 Oktober 1644, sekitar 5 bulan pasca pasukan Manchu menduduki ibukota, anak laki-laki Hong Taiji, Fulin, menjadi Kaisar Shunzhi, dan ia mengumumkan bahwa dinasti baru (Dinasti Qing) telah berdiri.
1. Shunzhi, Kaisar Dinasti Qing Pertama yang Memerintah Wilayah China (1644-1661)
Kaisar Shunzhi (1638-1661) masih berusia 5 tahun saat ayahnya wafat tahun 1643, namun Ia tetap diangkat menjadi Kaisar oleh komite Pangeran Manchu.
Mereka juga menunjuk Dorgon (1612-1650), putra ke-14 dari Nurhaci, akan bertindak sebagai seorang wali/Perdana Menteri, yang akan menjalankan roda pemerintahan sementara). Selama pemerintahannya, prioritas utama adalah untuk menaklukan sisa wilayah kerajaan, dan mendirikan pemerintahan untuk kerajaan baru.
2. Wali Dorgon Memimpin Pemerintahan (1643-1650)
Dorgon adalah seorang Bupati dan memerintah sebagai wali dari Kaisar yang masih anak-anak. Ketika Dorgon meninggal tahun 1650, Kaisar Shunzhi mulai memerintah sendiri di usia 13 tahun, hingga ia wafat di usia 24 tahun pada 1661.
Kebijakannya adalah menunjuk kembali para mantan pejabat Dinasti Ming sebelumnya, untuk membantu menstabilkan dan memakmurkan kerajaan. Tentara Manchu tidak menghancurkan Beijing, atau membantai masyarakat seperti yang biasanya dilakukan. Mereka justru membujuk para pejabat dan pemimpin militer Ming untuk menyerah pada mereka, dan bersama2 membangun Negara.
3. Pemaksaan Gaya Rambut Pada Jaman Dinasti Qing (1645)
Pada tahun 1645, Dorgon membuat dekrit yang berisi bahwa semua laki-laki dari dinasti sebelumnya (Ming) harus mencukur rambutnya, dan menguncir sisa rambutnya ke belakang. Ini adalah awal gaya rambut yang sering dilihat dalam film2 tentang Kekaisaran Qing, seperti pada film Once Upon Time in China 1-4, yang diperankan aktor Jet Li.
Gaya rambut ini memalukan, tapi sangat membantu dalam mengidentifikasi wajah para pemberontak. Menurut ajaran Confucius, kita diberikan tubuh, kulit, dan rambut dari orangtua, yang tak boleh dirusak.
Dorgon mengatakan, “Simpan rambutmu, maka kepalamu akan hilang; Jika mau menyimpan kepalamu, maka cukur rambutmu!” Puluhan ribu orang yang menolak mencukur rambutnya dibantai.
Tapi, opini tentang kepang rambut ini berubah seiring waktu. Setelah 286 tahun, orang2 mulai menerimanya. Ketika Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, banyak orang kala itu malah menolak aturan baru pemerintah Republik Tiongkok yang baru, untuk memotong kepang rambutnya!
4. Ujian Negara Berlanjut (1646-1911)
Pada 1646, Dorgon membuka kembali ujian kenegaraan (untuk menjadi sarjana), yang digelar setiap 3 tahun. Dengan cara ini, Dia mendapat dukungan kaum terdidik dan birokrat.
Masalah tentang kurangnya pendidikan modern dalam kerajaan meningkat. Kerajaan berkonsentrasi pada Ujian Negara, belajar tentang filosofi kuno dan ajaran agama.
D. Era Kekaisaran Kangxi (Xuanye) – Masa Kejayaan Dinasti Qing Dimulai (1661–1722)
Masa pemerintahan Kaisar Kangxi dan Qianlong adalah periode termakmur dari sepanjang periode perdinastian Tiongkok. Ini dikenal di Tiongkok sebagai “Masa Keemasan Kang-Qian“.
Setelah kematian Kaisar Shunzhi, Kaisar Kangxi (1654-1722) naik tahta menjadi Kaisar ke-4 Qing. Dia menjadi pemimpin terpanjang dalam sejarah dinasti. Seperti Kubilai Khan pada awal Dinasti Yuan, dan Zhu Yuanzhang di awal dinasti Ming, sepanjang 61 tahun kepemimpinannya, beliau mengarahkan berbagai kebijakan bagi stabilitas kerajaannya.
1. Perdagangan Asing Dilarang (1661-1840)
kekaisaran Ming mengembangkan semacam sikap tidak campur tangan pada perdagangan dan industri internal. Tapi, di bawah Kaisar Kangxi dan penerusnya, pemerintah lebih mengontrol perdagangan dan industri secara hati-hati, serta memonopoli industri penting, mengubah arah politik ekonomi dinasti sebelumnya.
Kaisar Kangxi hanya memberi ijin pada pebisnis asing untuk berdagang di 4 kota Tiongkok : Guangzhou, Xiamen, Songjian, dan Ningbo.
2. Tiga Alasan Mengapa Dinasti Qing Melarang Perdagangan Asing :
♦ Masyarakat kelas atas Qing percaya bahwa Dinasti Qing adalah kekaisaran terbesar di dunia, dan mencibir orang asing.
♦ Pemimpin Manchu tidak ingin orang Han di daerah pantai menjadi kuat lewat perdagangan dengan orang asing.
♦ Pemerintah Qing merasa marah dengan “ketidaksopanan” para duta besar, mereka menolak untuk berlutut pada pejabat tinggi Qing.
3. Kaisar Yongzheng, Masa Keemasan Berlanjut (1723–1735)
Kaisar Kangxi memiliki banyak anak laki-laki dari beberapa wanitanya, tapi Kaisar Yongzheng (1668–1735), putra ke-4 diberi mandat sebagai penerus dalam wasiatnya. Meski Ia kurang dikenal dibanding ayahnya, tapi Ia dapat meneruskan periode kemakmuran peninggalan ayahnya dengan baik.
E. Era Kekaisaran Qianlong (Hongli) – Akhir Masa Keemasan (1735–1796)
Anak laki-laki Kaisar Yongzheng, bernama Kaisar Qianlong (1711–1799). Ia resmi naik tahta menjadi Kaisar ke-6 Qing, dan memerintah selama 60 tahun. Hal ini dilakukan sebagai tindakan berbakti, untuk memastikan bahwa Ia tidak akan memerintah lebih lama dari kakeknya, Kangxi.
Kaisar Qianlong memutuskan untuk pensiun pada 8 Februari 1796, dinana itu adalah hari terakhir di tahun itu dalam kalender Imlek. Namun, Ia tetap memiliki otoritas tertinggi hingga kematiannya pada 1799. Pada awalnya, pemerintahannya berjalan dengan sukses, tapi keserakahannya lambat laun membuat kerajaannya mengalami berbagai kemunduran.
1. Kemakmuran dan Perkembangan Besar Tiongkok
Era pemerintahan Qianlong adalah masa paling jaya selama Dinasti Qing, dan populasinya berkembang cepat hingga sekitar ±300 juta jiwa. Namun, perdagangan asing dilarang, hingga hanya tersisa di Guangzhou (Kanton) saja.
Kerajaannya terus bertambah luas, dimana mereka menaklukkan wilayah Tibet dan Xinjiang di barat, juga mewarisi wilayah Mongolia dari dinasti pendiri, dan menyapu habis suku Dzungars (salah suku besar di Mongolia). Pada puncak kejayaannya, luas wilayah kerajaan Qing adalah nomor 2 terbesar setelah Dinasti Yuan (1271-1368).
2. Pertumbuhan Besar Literatur Tiongkok
Pencapaian literasi era Qing paling besar adalah dibuatnya buku pengetahuan ensiklopedia2 luas dan ringkasan karya sastra yang berisi ribuan novel populer; dimana salah satunya adalah “Impian Paviliun Merah” (红楼梦; Hónglóumèng; Dream of the Red Chamber) karya Cao Xueqin (1715-1764 M). Ini merupakan 1 dari 4 karya novel klasik termasyur di Tiongkok.
Baca juga : Karya Sastra Dinasti Ming dan Qing
3. Keserakahan Qianlong yang Membawa Kehancuran (1765-1799)
Kaisar Qianlong lambat laun berubah menjadi serakah. Setelah berbagai kampanye kemenangannya di barat, Ia mencoba menundukkan kerajaan Burma dan Vietnam, dari tahun 1765 hingga 1769, namun berakhir dengan kegagalan yang harus dibayar mahal oleh kerajaan.
Di tahun-tahun terakhirnya, Ia bergelimang kemewahan, seks, dan istana (荣华富贵, Rónghuá Fùguì; kenyamanan akan kekayaan, jabatan, dan posisi tinggi). Dia meninggalkan pemerintahan di tangan pejabat2 korup.
Ketidakpuasan akan pemerintahan Qing meningkat, dan rakyat sipil bangkit dalam pemberontakan akibat pajak yang terlalu tinggi. Aksi isolasinya terhadap orang Eropa menjauhkan rakyat dari adaptasi teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini mengakibatkan berbagai kekurangan dan kemunduran disemua lini, dan peluang invasi (diserang) asing.
4. Kaisar Jiaqing (1796-1820), Awal Kemunduran Dinasti Qing Dimulai
Sepanjang tahun 1800-an, dinasti tampak sukses karena populasi yang terus tumbuh, dan wilayahnya tetap bersatu. Namun modernisasi kerajaan yang lambat, pemerintah yang berkuasa tidak bisa menangani situasi dunia yang berubah dengan cepat (masuknya pengaruh barat), ditambah munculnya berbagai pemberontakan yang menentang orang2 Qing berkuasa.
5. Jaman Masuknya Para Misionaris Barat Penyebar Agama Kekristenan (tahun 1800-1912)
Penyebar agama Protestan dikenalkan oleh para misionaris Barat, dan sejak masuknya pertama kali, puluhan ribu rakyat Tiongkok berpindah agama.
Para misionaris membangun sejumlah sekolah dan rumah sakit ala barat, mendidik puluhan ribu murid, dan mengajar pengobatan ala Barat kepada para dokter dan suster. Mereka juga membangun kampus dan universitas untuk para mahasiswa.
Suasana kekristenan dan modernisasi barat pada jaman ini dapat pembaca lihat pada film Once Upon Time in China 1-4, yang diperankan aktor Jet Li.
6. Kaisar Daoguang (1821-1851) – Perang Dagang dan Perang Candu Dengan Eropa Dimulai (1838, 1854)
Pada tahun 1800-an, dengan persenjataan yang modern, orang2 Eropa mengalahkan tentara Qing dengan mudah, dan memaksa Qing untuk memberikan beberapa pelabuhan dagangnya.
Inggris menginginkan perdagangan yang lebih luas dengan kerajaan Qing, tapi pemerintahan Qing ingin mencegah opium dan pengaruh Inggris di wilayahnya. Inggris mengalahkan Tiongkok 2x kali pada tahun 1838 dan 1854 (Perang Opium) untuk memaksa perjanjian dagang, dan merebut Hong Kong hingga tahun 1997 (dibawah Perjanjian Nanking tahun 1842).
Baca juga : Perang Opium (鴉片戰爭)
7. Kaisar Xianfeng (1851-1861) – Banyak Pemberontakan Dimulai
Sejak tahun 1796 hingga akhir era dinasti, pemerintahan Qing menghadapi pemberontakan demi pemberontakan dalam negeri, tapi mereka berhasil mengalahkan semuanya. Ini mengakibatkan berkurangnya populasi dan kekuatan militer Qing sendiri.
8. Pemerontakan Taiping (1851–1864) – 25.000.000 Korban Jiwa!
Pemimpin pemberontakan Taiping adalah Hong Xiuquan.
Pemberontakan berbasis Kekristenannya memiliki beberapa idealisme berpikiran maju yang tak disetujui oleh Dinasti Qing, seperti penghapusan perbudakan, memiliki lebih dari satu istri, pernikahan paksa, penggunaan opium, pengikat kaki (foot binding), penyiksaan tahanan politik, pemujaan berhala, dan ingin agar wanita memiliki kesetaraan dalam masyarakat.
Baca juga : Lotus Feet : Definisi Kecantikan dan Status ala Tiongkok Kuno
Baca juga : 5 Fakta Foot Binding (Tradisi Mengikat Kaki) di Tiongkok, Proses “Mematahkan Kaki” Yang Menyakitkan!
Ia menjadikan Nanjing sebagai pusat basis, dan pasukannya telah siap menyerang ibukota Beijing. Namun, Inggris dan Prancis mengirim tentara untuk membantu pasukan Qing. Dalam kurun waktu 13 tahun, sekitar ±25 juta orang meninggal. Pemberontakan ini disebut perang paling berdarah ke-2 dalam sejarah, setelah Perang Dunia II.
Selain pemberontakan Taiping yang terkenal diatas, pemberontakan dari suku minoritas, Miao (苗族; Miáozú) juga memberontak di wilayah Guizhou, selatan Tiongkok. Diperkirakan jutaan orang terbunuh dalam dua perang besar, sekitar tahun 1800-an awal, dan pada tahun 1854 hingga 1873.
Rakyat Hakka dan Punti in di wilayah tenggara Tiongkok juga jatuh dalam konflik perang etnik yang panjang, antara tahun 1855 hingga 1867. Pemberontakan Panthay adalah pemberontakan muslim di Yunnan, yang berlangsung sejak tahun 1855 hingga 1873, yang mengakibatkan sekitar 1 juta orang meninggal.
Baca juga : Inilah 9 Kelompok Etnis Selain Han di Tiongkok
F. Era Permaisuri Janda Cixi (1861-1908)
Anak permaisuri janda Cixi (Kaisar Tongzhi) “naik tahta” sejak 1861 hingga 1875 (13 tahun), dan sepupunya (Kaisar Guangxu) “memerintah” sejak 1875 hingga 1908 (34 tahun). Tapi dikatakan bahwa Janda Permaisuri Cixi adalah penguasa sebenarnya, selama periode panjang dan penting ini.
1. Bagaimana Cixi Mendapatkan dan Mempertahankan Kekuasaannya?
Sang Permaisuri Janda Cixi (1835–1908) atau Cixi Taihou 慈禧太后 mulai berkuasa ketika tentara Inggris dan Prancis menyerang Beijing, dan menghancurkan Istana Musim Panas tahun 1860.
Dikatakan bahwa ketika Kaisar Xianfeng jatuh dalam depresi hingga akhirnya wafat pada tahun 1861, menjadikan Cixi (istrinya) yang seorang permaisuri membantu anaknya (Kaisar Tongzhi) yang masih berusia 5 tahun untuk memerintah.
Untuk menjaga dan mendapat kekuasaan di puncak pemerintahan, Cixi dikenal sadis, dimana pembunuhan dan konspirasi adalah jalan untuk tetap hidup, Ia menjaga sistem tradisional, meskipun jutaan jiwa menjadi korban dan menghambat perkembangan kerajaan.
Cixi meninggal dunia pada 15 November 1908 setelah memasang Puyi sebagai kaisar baru Dinasti Qing pada sehari sebelumnya. Ia meninggal sehari setelah Kaisar Guangxu meninggal (14 November 1908).
Pada 4 November 2008, tes forensik oleh ahli Tiongkok melaporkan bahwa kematian Kaisar Guangxu diakibatkan oleh racun arsenik (2.000 kali lebih tinggi daripada orang biasa).
Media China Daily, mengkutip pernyataan seorang sejarawan, Dai Yi, yang berspekulasi bahwa Cixi lah yang meracuni sang Kaisar, karena kala itu dia sudah berusia tua dan sakit2an, sadar bahwa ia akan meninggal sebentar lagi. Dia takut Guangxu akan mereformasi Dinasti setelah kematiannya.
2. Revolusi Muslim Di Utara (1864–1877) – Jutaan Orang Terbunuh
Dengan beberapa pemberontakan dan perang besar lain terjadi di kerajaan Qing, Revolusi Dungan melibatkan wilayah luas di utara dan tengah Tiongkok.
Sebagian dari kejadian ini adalah perang antara 3 sekte muslim, yang berkeinginan untuk mendirikan kerajaan muslim. Namun, para muslim ini harus menghadapi tentara Qing, yang menguasai koridor muslim di Gansu, untuk mencegah muslim di Xinjiang dan Tiongkok Tengah bersatu.
3. Kelaparan Besar (1876-1879 dan 1907) – Sekitar 35.000.000 Jiwa Meninggal
Kelaparan akibat musim dingin di utara Tiongkok menewaskan sekitar 10% persen populasi dari beberapa provinsi di utara. Adanya bencana besar dan bantuan yang tidak cukup disediakan oleh pemerintahan Qing, membuat rakyat semakin tidak puas dengan Dinasti Qing.
Kelaparan Tiongkok pada tahun 1907 menewaskan sekitar ±25 juta orang. Ini merupakan kelaparan terbesar ke-2 dalam sejarah dunia! Selain itu, terjadinya banjir bandang pada tahun 1887 semakin melemahkan Dinasti Qing. Diperkirakan sekitar 1-2 juta orang tewas.
G. Kehilangan Mandat Surga (1890-1912)
Masyarakat Tiongkok percaya bahwa Surga (dipuja di Kuil Surga) akan menunjukkan kapan sebuah dinasti berakhir, dan tak lagi mendapat dukungan Surga, dengan mengirimkan bencana alam, seperti kelaparan, banjir, dan gempa bumi. Kepercayan ini menyebabkan kegelisahan di lingkungan istana.
1. Krisis Ekonomi Di Akhir Tahun 1800-an
Setelah berbagai pemberontakan dan perang yang terjadi pada pertengahan 1800-an, dan bencana alam di awal 1900-an, yang masih bertahan hidup harus menghadapi kompetisi ekonomi dengan pihak asing, dengan pengetahuan yang minim. Akibat modernisasi dan impor seperti baju katun, banyak orang kehilangan pekerjaan.
Jalan raya dan pabrik tradisional (seperti kanal) juga menjadi usang.
Mulai awal 1900-an, disebutkan bahwa impor pemerintahan Qing 4 kali lebih banyak daripada ekspor, sangat kontras dibanding era kejayaan Dinasti Qing, dimana produk Tiongkok berharga mahal (sangat dihargai) di seluruh dunia.
2. Jepang Menguasai Taiwan dan Liaoning (1895)
Berbanding terbalik dengan Dinasti Qing, modernisasi di Jepang berlangsung cepat, dan di akhir abad ke-19 (tahun 1800-an), Jepang mulai menginvansi kerajaan Qing, dan mengambil wilayahnya sebagai koloni.
Dinasti Qing kalah pada Perang Sino Jepang (1894-1895), dan Jepang mengambil Formosa (Taiwan) dan wilayah Liaoning dan sekitarnya di sudut timur laut Tiongkok (Manchuria, asal muasal orang Manchu) sebagai bagian dari kerajaannya. Sementara Taiwan menjadi koloni industrial.
3. Kaisar Guangxu Dipenjarakan Oleh Cixi (1898)
Di tahun 1898, Permaisuri Janda Qixi memblokade keponakannya agar tidak membentuk pemerintahan baru, karena itu Guangxu ditangkap dan dibawa ke istana kecil, serta dijadikan tahanan rumah di sebuah pulau di tengah danau, yang terhubung dengan Kota Terlarang.
Janda Qixi kemudian mengeluarkan titah yang mengatakan bahwa Guangxu tidak cocok sebagai seorang Kaisar, serta membeberkan sejumlah aibnya. Sejak itu, pengaruh dan kekuatan Guangxu sebagai seorang Kaisar pun dianggap sudah berakhir.
Para pendukung Guangxu juga tidak luput dari amukan Janda Qixi, dan kebanyakan dihukum mati, salah satunya adalah Tan Sitong, seorang seniman, yang tanpa ampun diseret dan dihukum pancung oleh sang janda permaisuri.
Sementara pejabat Kang Youwei diasingkan keluar istana, tetapi tetap mengabdi kepada Dinasti Qing, setia kepada sang Kaisar, sambil berharap suatu hari bisa memulihkan kembali keadaan dan kekuasaan Guangxu.
Untuk mengatasi kebosanan dalam masa pembuangannya, Kaisar Guangxu meyibukkan diri dengan mengutak atik jam arloji dan jam dinding, yang sudah lama digemarinya sejak masa kanak2.
Kaisar Guangxu sendiri meninggal akibat keracunan arsenik tahun 1908. Orang menduga bahwa Janda Cixi mengutus orang untuk meracuninya, sehari sebelum ia juga mangkat.
4. Pemberontakan Boxer (1900)
Tahun 1900, sebuah pemberontakan dimulai diantara kalangan orang miskin, dipimpin oleh orang yang belajar seni bela diri (Kungfu), jadi ini disebut Pemberontakan Boxer, atau Yihetuan Movement (義和團運動).
Awalnya, tujuandari pemberontakan ini adalah untuk menggulingkan pemerintahan dan mengusir orang2 asing. Tapi, Cixi mendukung pergerakan ini secara diam2 (memberikan suntikan dana, senjata, dan ransum), sehingga pemimpinnya berbalik mendukung Dinasti Qing.
Pergerakan ini kemudian beralih menjadi pergerakan anti Kristen, dan membuat ribuan penganut dan misionaris Kristen di Tiongkok kala itu disiksa dan dibunuh (1899-1990). Kemudian, Cixi menyatakan perang terhadap orang2 asing, dan para jago2 bela diri maju untuk melawan orang asing di Beijing.
Namun, kurangnya pasukan dan amunisi, ditambah adanya penghianat dalam gerakan ini, membuat tentara asing dengan mudah memadamkan perlawanannya.
Pada tanggal 14 Agustus 1900, Aliansi Delapan Negara dari negara barat dan Jepang berhasil menguasai kota Beijing. Kaisar Guangxu dan Janda Permaisuri Cixi, bersama sisa2 pejabat militer dan sipil mengungsi ke kota Xi’an, Shaanxi, dengan menyamar sebagai rakyat biasa.
Setelah pasukan utama dari delapan negara ditarik, Guangxu dan Cixi kembali ke kota Beijing.
5. Asal Mula Pendidikan Tinggi Barat di Tiongkok “Harvard Tiongkok”
Amerika Serikat mengirim detasemen tentara dalam perang melawan para Petinju (pejuang, jago bela diri) Cina, dan pemerintah Qing dipaksa untuk membayar perbaikan perang oleh Amerika.
Amerika menggunakan dana tersebut untuk membangun Universitas Tsinghua, yang sekarang merupakan universitas terbaik di Tiongkok.
H. Puyi, Sang Kaisar Terakhir, The Last Emperor (1908-1912)
Tahun 1908, ketika Janda Permaisuri Cixi dan Kaisar Guangxu tiba-tiba mangkat, Puyi pun menjadi “kaisar terakhir”, bergelar Kaisar Xuantong, yang kala itu baru berumur 2 tahun. Sementara yang menjalankan kekaisaran secara resmi adalah pangeran Zaifeng, Ayah Puyi.
Kebangkitan Revolusi Republik (1911–1912)
Pada awal 1900-an, Sun Yatsen telah berkelana keliling dunia untuk mengorganisir sebuah revolusi melawan Dinasti Qing. Pergerakannya relatif tanpa korban di tahun 1911, dan Sun Yatsen pun menjadi presiden pertama Republik Tiongkok. Ibukota pemerintahan baru berada di kota Nanjing.
Sun Yatsen ingin mengimplementasikan konstitusi republik, tapi ini tak pernah terjadi. Sun Yatsen pun “dipaksa” turun dari jabatan untuk memberi kursi presiden kepada jenderal kekaisaran Qing, bernama Yuan Shikai. Dengan begitu, kekuasaan Dinasti Qing pun secara resmi berakhir pada 1912, ditandai dimulainya era Republik Tiongkok.
Baca juga : Sun Yat Sen Memorial Hall Guangzhou
Baca juga : Kudeta Gulingkan Kekaisaran Tiongkok