Pada tanggal 15 Juni 1955 malam, Kementerian Luar Negeri mengumumkan bahwa telah dicapai kesepakatan antara PM Ali Sastroamidjojo dan PM RRT Chou Enlai, sewaktu PM Ali berkunjung ke Tiongkok (RRT/RRC), dalam rangka pembahasan dan pelaksanaan perjanjian dwi kewarganegaraan Indonesia – Tiongkok.
Nama resmi perjanjian ini adalah Persetujuan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwi Kewarganegaraan (Hanzi: 中华人民共和国和印度尼西亚共和国关于双重国籍问题的条约; Pinyin : Zhōnghuá rénmín gònghéguó hé yìn dù ní xī yǎ gònghéguó guānyú shuāngchóng guójí wèntí de tiáoyuē).
Persesuaian paham sebagai hasil pertukaran pikiran itu telah diletakkan di dalam suatu pertukaran surat yang dilangsungkan pada tanggal 3 Juni 1955 di Beijing. Pertukaran surat ini dilakukan dalam bahasa Inggris, dan naskah bahasa Indonesia sebagai terjemahannya.
Salah satu dari persesuaian paham itu ialah mengenai persetujuan untuk membentuk satu panitia bersama di Jakarta, yang terdiri dari wakil-wakil Pemerintah RI dan Pemerintah RRT, yang bertugas merencanakan tata cara pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut.
Dalam persesuaian paham tersebut juga berisi keterangan bahwa sebelum jangka waktu 2 tahun yang ditetapkan untuk memilih kewarganegaraan berakhir, kedudukan orang2 yang mempunyai hak dwi-kewarganegaraan ini tidak akan berubah, sampai mereka melakukan pemilihan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan2 perjanjian tersebut.
Surat PM Chou En-lai kepada PM Ali Sastroamidjojo
Isi surat PM Chou En-lai kepada PM Ali Sastroamidjojo itu berbunyi sebagai berikut (terjemahan) :
Pada tanggal 22 April 1955, Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia telah menandatangani soal dwi-kewarganegaraan. Pada waktu Yang Mulia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok, kedua Pemerintah kita telah bertukar pikiran lebih lanjut sepenuhnya di Peking (Beijing) tentang tujuan dan tata cara pelaksanaan perjanjian ini, dan telah mencapai persesuaian paham yang sekarang saya nyatakan lagi sebagai berikut :
1. Tujuan dari perjanjian mengenai soal dwi-kewarganegaraan tersebut / diatas ialah untuk menyelesaikan soal dwi-kewarganegaraan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia, suatu masalah yang kita warisi sejak jaman lampau, dan penyelesaian masalah itu adalah dengan perjanjian tersebut / diatas; untuk mengambil segala tindakan yang seperlunya dan memberikan segala kelonggaran, sehingga segenap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan dapat memilih kewarganegaraannya kelak menurut kehendaknya.
2. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dan Pemerintah Republik Indonesia menyetujui bahwa di antara mereka yang serempak berkewarganegaraan Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, terdapat suatu golongan yang dapat dianggap mempunyai suatu kewarganegaraan, karena menurut pendapat Pemerintah Republik Indonesia kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya (secara eksplisit) telah melepaskan kewarganegaraannya di Republik Rakyat Tiongkok.
Orang-orang yang termasuk golongan tersebut di atas, karena mereka mempunyai hanya satu kewarganegaraan, tidak diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut ketentuan-ketentuan perjanjian dwi-kewarganegaraan. Jika dikehendakinya, sepucuk surat keterangan tentang hal itu dapat diberikan kepada orang-orang sedemikian itu.
3. Untuk menghindari salah paham mengenai ketentuan tentang berlakunya jangka waktu 2 tahun dalam Pasal XIV Perjanjian Dwi-kewarganegaraan tersebut di atas, kedua Pemerintah menyetujui tafsiran yang berikut, yaitu orang-orang yang sekali telah memilih kewarganegaraannya sesuai dengan perjanjian yang tersebut di atas, tidak akan diwajibkan memilih lagi setelah jangka waktu 2 tahun itu berakhir.
4. Agar supaya perjanjian tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan memuaskan, kedua Pemerintah menyetujui membentuk suatu Panitia Bersama di Jakarta, yang terdiri dari wakil-wakil Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Tugas Panitia Bersama itu ialah memperbincangkan dan merencanakan tata cara pelaksanaan Perjanjian Dwi-kewarganegaraan tersebut di atas.
5. Sebelum jangka waktu 2 tahun yang ditetapkan untuk memilih dwi-kewarganegaraan berakhir, kedudukan yang sekarang ini dari orang-orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan tidak akan berubah, sampai dan setelah mereka melakukan pilihan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut di atas.
Jika hal-hal tersebut / diatas memperoleh persetujuan dari Yang Mulia, maka nota ini dan jawaban Yang Mulia akan merupakan suatu persesuaian paham yang telah dicapai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tentang pelaksanaan perjanjian mengenai masalah dwi-kewarganegaraan, dan akan mulai berlaku pada waktu yang bertepatan dengan waktu mulai berlakunya perjanjian tersebut di atas.
Kami mempergunakan kesempatan ini untuk menyatakan kepada Yang Mulia hormat kami yang setinggi-tingginya.
Surat PM Ali Sastroamidjojo kepada PM Chou
Dalam surat jawabannya, PM Ali menyatakan telah menerima nota PM Chou itu tertanggal 3 Juni 1955, dan isinya dikutip sepenuhnya. Akhirnya PM Ali dalam surat jawabannya itu menyatakan sbb :
Atas nama Pemerintah Republik Indonesia kami membenarkan hal-hal yang tertera di dalam nota Yang Mulia. Nota Yang Mulia dan jawaban kami atas nota itu merupakan persesuaian paham yang telah dicapai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tentang pelaksanaan perjanjian mengenai masalah dwi-kewarganegaraan, dan akan mulai berlaku pada waktu yang bertepatan dengan waktu mulai berlakunya perjanjian tersebut di atas.
Kami mempergunakan kesempatan ini untuk menyatakan kepada Yang Mulia hormat kami yang setinggi-tingginya.
Catatan :
Perjanjian dwi-kewarganegaraan RI – RRT ini sebelumnya telah dibahas dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April 1955. Dalam forum tersebut, dicapai kesepakatan tentang dwi-kewarganegaraan Indonesia – Tiongkok, yang ditandatangani oleh PM sekaligus Menlu Tiongkok Chou Enlai dan Menlu Indonesia Sunario pada tanggal 22 April 1955.
PM Ali Sastroamidjojo kemudian berkunjung ke Tiongkok pada 26 Mei – 3 Juni 1955 untuk mengukuhkan kesepakatan itu. Namun di dalam negeri, Perjanjian itu banyak mendapat reaksi di Parlemen. Kala itu, Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) adalah 2 partai yang paling keras menolak.
Kabinet Ali Sastroamidjojo sempat jatuh pada bulan Juli 1955, tapi Ia terpilih lagi menjadi Perdana Menteri pada bulan Maret 1956 sebelum perjanjian itu dapat diimplementasikan. Pasca diratifikasi oleh kedua belah pihak, perjanjian ini diberlakukan tanggal 20 Januari 1960 setelah bertukar dokumen di Beijing.
Perjanjian ini efektif berlaku sejak 20 Januari 1960 dan berakhir pada 20 Januari 1962. Namun yang terjadi di lapangan, perjanjian ini masih diterapkan hingga awal tahun 1980.
Referensi :
1. Dr. Suryadi, MA., Leiden University, Belanda
2. Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok