Last Updated on 19 July 2017 by Herman Tan Manado
Sejarah petasan bermula dari negeri Tiongkok. Sekitar abad ke 9, seorang juru masak secara tak sengaja mencampur tiga bahan bubuk hitam (black powder) yakni garam peter atau kalium nitrat, belerang (sulfur) dan arang dari kayu (charcoal) yang berasal dari dapurnya.
Ternyata campuran ketiga bahan itu mudah terbakar. Jika ketiga bahan tersebut dimasukan ke dalam sepotong bambu yang ada sumbunya yang lalu dibakar dan akan meletus dan mengeluarkan suara ledakan keras yang dipercaya mengusir roh jahat.
Keberadaannya pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang pendeta China bernama Li Tian pada saat dinasti Song (960-1279 M). Li yang pada saat itu tinggal di dekat kota Liu Yang, Provinsi Hunan, memang menggunakan petasan ini sebagai salah satu perangkat beribadahnya.
Kala itu, petasan yang masih terbuat dari mesiu yang dimasukkan ke dalam bambu dibunyikan tiap kali dilakukan upacara pengusiran setan. Pada saat itu juga mulai didirikan pabrik petasan yang kemudian menjadi dasar dari pembuatan kembang api.
Bahan baku tabung diganti dengan gulungan kertas yang kemudian dibungkus dengan kertas merah dibagian luarnya. Kemudian petasan ini menjadi dasar dari pembuatan kembang api, yang lebih menitikberatkan pada warna-warni dan bentuk pijar-pijar api di udara.
Seiring perkembangan zaman, pada abad 15 kembang api dan petasan mulai beralih fungsi. Secara perlahan, keduanya digunakan untuk merayakan berbagai kegiatan mulai dari perayaan pernikahan, kemenangan perang, peristiwa gerhana, upacara-upacara keagamaan dan perayaan-perayaan besar China lainnya.
Tradisi membakar kembang api dan petasan ini pun lalu menyebar ke seluruh pelosok dunia. Lewat kembang api dan petasan inilah dunia pertama kali mengenal keberadaan mesiu. Lewat beberapa pengembangan yang dilakukan oleh para ahli, yang pada akhirnya kembang api dan petasan pun bisa direkayasa sehingga bisa digunakan sebagai bahan peledak hingga roket.
Di Indonesia sendiri, tradisi petasan itu dibawa sendiri oleh orang Tionghoa. Seorang pengamat sejarah Betawi, Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana dengan meniru orang Tionghoa yang bermukim di sekitar mereka.
Adapun beberapa perayaan besar lainnya di Indonesia yang sering menggunakan kembang api dan petasan, antara lain seperti perayaan idul fitri, natal, tahun baru masehi, tahun baru imlek dan hari kemerdekaan Indonesia.