Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Petrus Kanisius Ojong (Hanzi : 欧阳炳昆; Pinyin : Ouyang Bing Kun), atau dikenal dengan nama P.K Ojong merupakan salah satu pendiri surat kabar harian KOMPAS, selain Jacob Oetama. P.K Ojong lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920. Beliau merupakan salah satu tokoh Tionghoa Indonesia yang sukses dalam bidang jurnalistik.
Biografi P.K Ojong
Nama Lengkap : Petrus Kanisius Ojong
Nama Lain : Auw Jong Peng Koen (欧阳炳昆; Ouyang Bing Kun), Peng Koen
Tempat, Tanggal, Lahir : Bukittinggi, 25 Juli 1920
Meninggal : Jakarta, 31 Mei 1980 (Usia 59)
Pasangan : Cahtherine Oei Kian Kiat
Orang Tua : Auw Jong Pauw
Pekerjaan : Pendiri Harian Kompas
Tahun Aktif : 1965 – 19z0
A. Latar Belakang dan Pendidikan P.K Ojong
Sejak beliau kecil, ayahnya (Auw Jong Pauw) selalu membiasakan hidup hemat, disiplin dan tekun. Ayah P.K Ojong dulunya adalah seorang petani di wilayah Negara Taiwan yang kemudian berpindah ke Sumatera Barat.
Ayah P.K Ojong juga merupakan juragan tembakau di Payakumbuh, dimana Ia menghidupi keluarga besar dengan 11 anak dari 2 istri. Istri pertama dari Auw Jong Pauw meninggal setelah melahirkan anak yang ke-7. Sedangkan P.K Ojong merupakan anak sulungnya dari istri ke-2.
Sejak kecil ayah P.K Ojong selalu berpesan agar menghabiskan nasi di piring sampai butir terakhir, dan hal tersebut selalu diingat oleh P.K Ojong sampai akhir hayatnya. P.K Ojong sendiri memiliki 6 orang anak, 4 diantaranya adalah laki-laki.
Semasa kecil P.K Ojong bersekolah di HCS atau “Hollandsche Chineesche School” di Payangkumbuh, yaitu sekolah khusus warga Tionghoa yang didirikan & dikelola oleh pemerintah Kolonial.
Ia dikenal sebagai anak yang sangat serius dan disiplin. Dimasa itu dia mengenal ajaran agama Katolik. Beberapa waktu kemudian P.K Ojong masuk agama Katolik dan ia mendapat nama “Baptis Andreas” .
P.K Ojong sempat pindah ke HCS yang terletak di Padang, dimana dia melanjutkan pendidikannya di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK) atau sekolah Guru.
Ojong gemar membaca majalah dan Koran. Ia juga berlangganan majalah dan koran yang lewat perkumpulan di penghuni asrama. Jika murid lain hanya memperhatikan isi tajuk rencananya, Ojong justru menelaah cara penulisan dan penyajian gagasannya. Dari situlah karakter Ojong mulai terbentuk.
Kebiasaan hemat membuatnya menjadi lebih teliti dan berhati-hati. Sikap tekun dan disiplin inilah yang membuatnya menjadi orang yang lurus dan serius. Di HCK ini Ojong terpilih menjadi ketua perkumpulan siswa. Ia ditugaskan untuk menyediakan bahan bacaan untuk anggota dan menyelenggarakan pesta malam.
P.K Ojong kemudian meneruskan pendidikannya di Universitas Indonesia Jakarta dengan mengambil Fakultas Hukum, dimana beliau lulus pada tahun 1951.
B. Perjalanan karir P.K Ojong
Pekerjaan pertama yang dijalani P.K Ojong adalah menjadi seorang guru, karena Ia memiliki latar belakang pendidikan Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK) atau sekolah Guru. Beliau memilih sekolah tersebut karena biayanya yang lebih murah. Kebetulan pada saat itu kondisi keuangan keluarganya juga tidak terlalu baik.
Beliau menjadi seorang guru kelas 1 di Hollandsch Chineesche Broederschool St. Johannes (setingkat SMP), yang terletak di kawasan Jakarta kota. Ketika Jepang menyerbu Indonesia, sekolah ditutup dan Ojong kehilangan pekerjaannya.
Beberapa waktu berlalu, Ojong menekuni bidang menulis, ia makin lihai dalam memainkan penanya. Pada tahun 1946, Ojong mulai mempelajari bidang jurnalistik.
Ia juga bergabung dalam Star Weekly, yaitu sebuah majalah mingguan komunitas Tionghoa-Indonesia. Dia memulai meniti karirnya sebagai kontributor, yang pada akhirnya Ia diangkat menjadi redaktur pelaksanaan.
Namun Star Weekly dibubarkan pemerintah pada tahun 1960, karena ulasan luar negeri yang ditulis P.K Ojong cs dinilai terlalu mengkritik kebijakan pemerintah orde lama. Selain itu, P.K Ojong juga bekerja sebagai redaksi surat kabar harian Tionghoa, Keng Po.
Selain itu, P.K Ojong juga aktif dalam kegiatan sosial yang diadakan perkumpulan Sing Ming Hui, yang kini berganti nama menjadi “Candra Naya”, Sing Ming Hui merupakan perkumpulan sosial yang didirikan oleh Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat.
Pendiri Sing Ming Hui dikenal sebagai duo yang anti komunis. Saat itu Injo Beng Goat juga pernah berpidato di corong RRI, dimana ia menganjurkan bahwa golongan Tionghoa akan selalu mendukung RI. Kelak, lewat organisasi Sing Ming Hui inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya RS Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara.
C. Pendiri Majalah Intisari dan Harian Kompas
Semasa hidupnya, sosok P.K Ojong dikenal aktif pada beberapa organisasi, yakni bendahara pengurus pusat Serikat Penerbit Surat Kabar, Badan Pimpinan Pusat Partai Katolik , bendahara Yayasan Indonesia yang ketika itu menerbitkan majalah Kebudayaan Horison, dan masih banyak lagi.
Pada tahun 1963, P.K Ojong bersama rekannya, Jacob Oetama, mendirikan majalah Intisari, yang merupakan cikal bakal harian Kompas. 2 tahun setelahnya, di tahun 1965 mereka mendirikan Kompas, yang kelak menjadi salah satu harian terbesar di Indonesia hingga sekarang.
Sejatinya, hubungan antara majalah Intisari dan koran Kompas laiknya hubungan antara Star Weekly dan Keng Po, dimana keduanya saling bekerjasama dan membantu dalam berbagai informasi pemberitaan.
Selain P.K Ojong dan Jacob Oetama, beberapa pengurus awal harian Kompas adalah J. Kasimo, Frans Seda, C. Palaunsuka, dan Auwjong Peng Koen.
Mereka memutuskan bahwa SKH Kompas harus bersifat independen, seperti menggali setiap sumber beritanya sendiri, mengimbangi dengan aktif bagaimana pengaruh komunis agar tetap berpegang pada kebenaran, dan terkandung nilai-nilai moral pada setiap berita.
Berbekal didikan masa kecilnya untuk selalu hidup disiplin dan hemat, P.K Ojong selalu merencanakan segala sesuatu dengan cermat dan semuanya disiapkan sematang mungkin. Bukan apa-apa, karena waktu itu modal awal mereka hanya sekitar Rp. 100.000,- , dimana sebagiannya sebagai uang untuk Intisari.
Pada tanggal 28 Juni 1965 Kompas terbit dengan nomor percobaan pertama. Setelah 3 hari berturut-turut dengan label percobaan, barulah kompas yang sesungguhnya beredar luas, hal tersebut membuat Ojong bersemangat. Awalnya kompas tidak pernah terbit tepat waktu, sehingga dijuluki Komt pas morgen, yang artinya “besok baru datang”.
P.K Ojong juga merupakan pimpinan umum dari PT. Gramedia sejak tahun 1970, yang bergerak di bidang percetakan dan penerbitan buku sampai akhir hidupnya.
D. Kehidupan Sosial P.K Ojong
Ojong dikenal dengan pribadi yang jujur, sederhana, pandai mengelola keuangan serta bertanggung jawab. Bahkan Ia tidak suka menyumbang untuk pesta yang sekiranya menghamburkan uang.
Ia lebih suka mendonasikannya kepada yang membutuhkan bantuan. Ojong merupakan orang yang pekerja keras dan mengutamakan persatuan bangsa berdasarkan Bhineka Tunggal Ika.
Ojong termasuk seorang kutu buku. Buku catatan hariannya penuh dengan judul buku, tanggal serta harga pembeliannya. Selama perjalanan saat berangkat atau pulang kantor, beliau selalu berhadapan dengan buku bacaan. Dilihat dari banyak nya koleksi buku yang Ia miliki, terlihat jelas bahwa ia memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Minat bacanya sangat luas, mulai dari bidang hukum, sejarah, sastra, kesenian, sosiologi, sains, filsafat, jurnalistik, cerita kriminal, psikologi, tanaman, kesehatan, sampai buku-buku resep masakan pun ia miliki.
Cerita yang berisi tentang Perang Eropa dan Pasifik yang dimuat di Star Weekly di tahun 1950-an merupakan cerita yang paling Ojong sukai. Sebagai pemimpin majalah yang disegani, Ojong tidak bisa menutup matanya dari hal berbau politik.
Pada akhir tahun 1953, Ia termasuk orang yang prihatin dengan nasib golongan Tionghoa peranakan, yang terancam kehilangan kewarga-negaraan Indonesia nya.
Ojong meninggal pada 31 Mei 1980. Kemudian didirikan patung P.K Ojong di halaman Bentara Budaya di Jakarta, yang merupakan suatu lembaga nirlaba yang bertujuan melestarikan pengembangan seni budaya Indonesia guna mengenang jasa-jasa P.K Ojong dalam bidang jurnalistik.
Sebuah buku biografi yang berjudul : PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001), berisi pengalaman2 beliau ketika menekuni dunia jurnalistik, seperti bagaimana membangun media cetak yang baik dan benar selama orde lama hingga orde baru.