Last Updated on 28 February 2023 by Herman Tan Manado

Ada suatu peristiwa penting yang berbau rasialis terhadap etnis Tionghoa, yakni ketika dikeluarkannya PP No.10 Tahun 1959, ketika masa pemerintahan Presiden Sukarno. yang secara tidak langsung mengusir etnis Tionghoa keluar dari Indonesia.

Di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta, sampai akhir tahun 1950-an warga Cina Tionghoa umumnya memiliki toko di pasar2. Termasuk pedagang keliling, berupa tukang kelontong yang barang jualannya dipikul oleh kulinya.

Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa yang tinggal di kampung2 Selam (Islam). Setelah mereka dibolehkan pindah/keluar dari China Town Glodok. Dalam berhitung, mereka menggunakan “sempoa” yang tidak kalah cepatnya dengan para pedagang masa kini yang menggunakan kalkulator.

Bos atau pemilik toko2 Tionghoa ini dalam melayani pembeli, umumnya hanya memakai celana pendek dari blacu dan kain singlet, sangat sederhana dibandingkan jaman sekarang yang rata2 menggunakan jas atau blazer formal.

Baca juga : Proses Integrasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia : Sudah Optimalkah?

Ada suatu peristiwa penting yang berbau rasialis terhadap etnis Tionghoa. Peristiwa ini terjadi ketika dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1959, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno (Orde Lama; 1945-1966).

Inti dari PP tersebut adalah melarang warga Tionghoa untuk berdagang di daerah2 di bawah tingkat kabupaten. Keluarnya Peraturan Presiden No.10 tahun 1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan.

Namun pada prakteknya, PP No.10/1959 ini sasarannya hanya ditujukan kepada warga keturunan Tionghoa saja, tidak bagi warga keturunan arab atau eropa.

Peraturan ini sebetulnya dimaksudkan/ditujukan terhadap Tionghoa WNA (yang memegang kewarganegaraan RRT). Tapi nyatanya PP tersebut berimbas kepada semua warga etnis Tionghoa yang berdagang di pedesaan. Tidak peduli dia WNA atau WNI, yang penting terlihat sipit langsung disikat.

Tampak sebuah kapal yang mengangkut para Guijiao (归侨)* kembali pulang ke kampung halamannya.

Baca juga : Mereka Yang Kembali ke Tiongkok (Guiqiao)

Apalagi kemudian terbit peraturan daerah No.20/1959, tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Indonesia dengan RRT, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960 s/d 20 Januari 1962.

Dalam rentang tahun tersebut memungkinkan masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk memiliki 2 Kewarganegaraan, bebas untuk keluar masuk wilayah 2 negara tersebut, serta berhak untuk menjalankan usaha/bisnisnya.

Mereka diberikan waktu hingga 2 tahun untuk memilih menjadi warga dari salah satu negara. Diharapkan agar semua permasalahan mengenai Dwi Kewarganegaraan ini sudah selesai ketika waktu penetapannya berakhir.

Saat itulah terjadi tindakan “pengusiran” terhadap warga etnis Tionghoa, mulai dari daerah kecamatan hingga ke desa2, dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959. Akibatnya, ratusan ribu WNA Tiongkok terancam dipulangkan ke negeri leluhurnya.

Dalam situasi demikian, pemerintah Tiongkok kala itu sengaja mengirimkan kapal2 penumpang ke Indonesia, untuk mengangkut / menjemput warga negaranya (para Huaqiao) kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 KK) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.

Peristiwa ini sempat mengganggu hubungan antar negara RI-RRT, dan baru dapat diselesaikan setelah perundingan antara Presiden Soekarno dan PM Cho En Lai (周恩来), yang kala itu sengaja datang ke Jakarta.

Warga Tionghoa yang berdomisili di Indonesia dan luar negeri kala itu disebut Huaqiao (华侨)*. Ketika Presiden Sukarno menandatangani PP No. 10/1959 itu, dikatakan bahwa semua pedagang etnis Tionghoa harus menutup usahanya di pedesaan.

Namun tidak jelas, apakah termasuk seluruh keturunan Tionghoa juga dilarang bermukim di pedesaan. Tapi yang jelas, Pangdam Siliwangi  kala itu, Kolonel Kosasih, memaksa mereka pindah.

Berikut beberapa video cerita dari Guijiao (warga Tionghoa Indonesia yang kembali pulang ke Tiongkok)

Catatan :

1. Istilah guiqiao (归侨) harus dibedakan dari huaqiao (华侨). Huaqiao adalah orang2 Tiongkok yang lahir di Tiongkok atau di luar negeri, yang masih berada di luar negeri. Guijiao adalah orang2 Tiongkok yang pulang dari merantau/perantauan dari luar negeri.

2. Pasca tahun 1962 (Saat Orde Baru berkuasa perjanjian Dwi-Kewarganegaraan tidak lagi dipakai), orang2 Tionghoa yang masih memegang surat Dwi Kewarganegaraan tidak lagi diakui sebagai WNI, dan menjadi stateless.

Pada waktu itulah (1966 keatas) banyak masyarakat Tionghoa yang menjalani proses naturalisasi, meski dia sudah lahir dan lama tinggal di Indonesia. Orang2 inilah yang harus mempunyai SBKRI.

Pada tahun 1969, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan secara resmi dibatalkan. Warga Tionghoa yang masih memegang surat tersebut (dokumen Dwi Kewarganegaraan) dinyatakan sebagai stateless, atau tidak memiliki kewarganegaraan, akan ditangkap dan diusir dari wilayah Indonesia.

Baca juga : Tionghoa dan Cengkraman SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)

3. Nampaknya, mereka yang stateless inginnya menjadi warga negara Taiwan. Tetapi karena Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan, maka mereka menjadi tidak jelas kewarganegaraannya.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?