Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Peradaban Tionghoa Selayang Pandang merupakan buku yang menjabarkan tradisi kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Nio Joe Lan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1962, dan pada tahun 2013 dicetak kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai nama-nama orang Tionghoa. Bagi pembaca yang masih asing dengan tradisi orang Tionghoa, tampaknya akan sedikit bingung ketika melihat Nio menjabarkan ihwal penamaan masyarakat keturunan Tionghoa.
Identitas Buku
Judul buku : Peradaban Tionghoa Selayang Pandang
Penulis : Nio Joe Lan
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Januari 2013
Tebal : 364 halaman
ISBN : 978-979-91-0528-8
Harga buku : Rp.60.000,-
Sinopsis Buku
Peradaban Tionghoa Selayang Pandang merupakan buku yang menjabarkan tradisi kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Nio Joe Lan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1962, dan pada tahun 2013 dicetak kembali oleh KPG.
Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai nama-nama orang Tionghoa. Bagi pembaca yang masih asing dengan tradisi orang-orang Tionghoa tampaknya akan sedikit bingung ketika melihat Nio menjabarkan ihwal penamaan masyarakat keturunan Tionghoa.
Tentu saja rasanya asing bagi pembaca awam ketika melihat nama-nama Tionghoa yang dicontohkan oleh Nio, seperti misalnya Tji Kim Ping, Nio Som Tek, dan Kho Kim Jin. Pasalnya, pada masa kini, hampir tidak ada masyarakat etnis Tionghoa yang masih menggunakan nama seperti itu.
Masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia kini dalam pemberian nama terhadap anak banyak mengikuti penamaan barat, ataupun memakai unsur keagamaan dalam menamai anak mereka. Lalu, kenapa sekarang dalam penamaan bisa begitu berbeda?
Buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang memang bisa dikatakan sebagai buku lawas yang “unik”. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, buku ini terbit pada tahun 1962, tiga tahun sebelum terjadinya peristiwa G30/SPKI tahun 1965.
Di tahun 1965 itu, terjadi penculikan dan pembunuhan para jenderal, yang berimbas pada pembantaian anggota dan simpatisan PKI, pendukung Soekarno, serta orang-orang yang tertuduh komunis sepanjang tahun 1965-1968. Lebih lanjut lagi, etnis Tionghoa pun terkena pula gesekan peristiwa itu.
Semenjak peristiwa itu, seluruh surat kabar dan sekolah yang berbahasa Mandarin ditutup pemerintah. Berbagai peraturan rasis pun dikeluarkan oleh Orde Baru, pihak yang keluar sebagai pemenang dalam pergumulan tahun 1965.
Peraturan-peraturan itu antara lain, “diharuskannya” masyarakat etnis Tionghoa untuk mengganti nama mereka menjadi lebih “Indonesia”, serta pelarangan terhadap segala hari raya orang Tionghoa dan bahkan agama Tionghoa.
Kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pun berubah drastis. Tidak ada perayaan besar-besaran ketika hari raya Tionghoa tiba. Pergantian besar-besaran nama masyarakat Tionghoa menjadi lebih “Indonesia” juga terjadi. Pada akhirnya, hal ini membuat generasi Tionghoa berikutnya terputus dengan tradisi kebudayaan etnis mereka.
Keunikan dari buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang adalah karena Nio menulis dengan cukup mendetail mengenai budaya orang Tionghoa sebelum pemasungan terhadap orang Tionghoa terjadi di masa Orde Baru. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan menerka-nerka bagaimana orang Tionghoa hidup di Indonesia sebelum pemasungan kebudayaan itu terjadi.
Misalnya, buku ini membuat pembaca dapat mengetahui bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia bukanlah suatu komunitas yang homogen, tetapi heterogen. “… di negeri kita ini banyak tinggal orang Tionghoa yang berasal dari berbagai propinsi di Tiongkok dengan dialek-dialek yang berbeda satu sama lain,” tulis Nio.
Mereka di antaranya terdiri atas orang Tionghoa Konghu, Hokkian, dan Hakka. Layaknya orang Jawa, terdapat pula banyak suku dari pulau Jawa, seperti suku Betawi dan Sunda.
Dalam penjelasan mengenai hari-hari raya orang Tionghoa pun, kita dapat melihat bagaimana situasi pada masa sebelum Orde Baru perayaan tersebut dirayakan dengan megah.
Sebuah lampiran foto di halaman 204 menunjukkan betapa megahnya masyarakat Tionghoa di Jatinegara melaksanakan penutupan tahun baru Imlek dengan arak-arakan Dewa Toapekkong (Hanzi : 大伯公; Pinyin: Da Bo Gong).
Setelah 20 tahun era Orde Baru turun, jika perayaan Imlek diadakan begitu megah, bisa-bisa dikatakan sebagai usaha cinanisasi.
Penjelasan-penjelasan singkat yang diberikan Nio mengenai beberapa kuil-kuil Tionghoa di Indonesia dapat pula membuat pembaca sadar bahwa sebelum Orba berkuasa, masyarakat Tionghoa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar tanpa masalah yang berarti. Banyak berdiri kelenteng Tionghoa, yang telah ada ratusan tahun lamanya di berbagai wilayah.
Sayangnya, buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang memiliki kekurangan dalam penulisan istilah Mandarin. Bahasa Mandarin, yang dalam buku ini disebut sebagai “Kuo-yü”, penulisannya tidak diganti menjadi “Hanyu Pinyin” yang sudah baku.
Ambil contoh penulisan dinasti “Zhou”. Di dalam buku masih ditulis menjadi “Chou” yang berarti menggunakan penulisan pelafalan versi Wade-Giles.
Penulisan jenis ini sudah sangat jarang (bahkan sepertinya sama sekali tidak) dipakai untuk menuliskan pelafalan bahasa Mandarin ke dalam huruf latin. Hal ini dapat membuat pembaca merasa kebingungan.
Nampaknya KPG selaku penerbit ingin mempertahankan orisinalitas buku ini. Namun, ada baiknya pelafalan Mandarin diperbaiki menjadi “Hanyu Pinyin”, serta pelafalan Hokkian (yang sering dipakai dalam buku ini) dan pelafalan lainnya diberikan keterangan tambahan dalam bentuk “Hanyu Pinyin” pula dengan catatan kaki, agar pembaca dapat lebih paham dengan istilah yang disebutkan.
Itu karena istilah-istilah dengan lafal Tionghoa semacam dialek Hokkian sudah sangat jarang digunakan, sehingga pembaca, bahkan yang orang Tionghoa, akan kesulitan untuk menerka istilah maupun tokoh yang dimaksud.
Terlepas dari pemasalahan bahasa dan rentang waktu yang jauh pada awal mula penerbitannya, buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang membuat orang yang membacanya dapat menyelami lebih jauh kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia.
Sedikit mengubah akhir kalimat pengantar buku yang ditulis Nio Joe Lan pada tahun 1961, buku ini diharapkan dapat mempererat hubungan etnis yang lain dengan etnis Tionghoa di Indonesia.
Semoga dengan lebih mengenal kebudayaan Tionghoa, akar-akar kebencian dapat lebih mudah dilenyapkan.
Ditulis oleh : Miguel Angelo Jonathan, Jakarta, 27 November 2018