Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Revolusi Kebudayaan (Hanzi : 无产阶级文化大革命; Pinyin : wu chan jie ji wen hua da ge ming) adalah suatu revolusi besar yang terjadi di China pada tahun 1966-1976. Pada era tersebut diwarnai dengan kekerasan terhadap kaum intelektual dan unsur-unsur borjuis lainnya.

Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dkk yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme.

Hingga saat ini revolusi Kebudayaan masih menjadi topik peka di China dan diskusi terbuka mengenai masalah itu sangat terbatas. Revolusi Kebudayaan membuat generasi muda menjadi radikal untuk menentang kaum elit.

Revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk mengembalikan China kepada ajaran “Maoisme” yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti oleh budaya Barat. Pada tahun 1966 China diramaikan dengan hiruk-pikuk gerakan antikapitalisme.

Tentara Merah menyerang para dosen, dokter, seniman, novelis, cendekiawan, tenaga-tenaga profesional, dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum proletar. Gonjang-ganjing terus berlangsung sampai tahun 1975 meski tak lagi diwarnai kekejaman. Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat.

Pemimpin Besar Mao Zedong (Presiden China pertama 1949-1958) memainkan peran penting sejak berdirinya Republik Rakyat China pada 1949. Ia menyingkirkan para pesaing dan musuhnya.

Misalnya, ia menyerukan gerakan Anti aliran kanan pada tahun 1957 untuk menyingkirkan Zhou Enlai (PM China pertama pada 1949-1976), pelopor gerakan “Seratus Bunga” tahun 1956.

Mao memprakarsai gerakan “Lompatan Jauh ke Depan” pada 1958 untuk memberi warna khusus bagi komunisme China. Berbeda dengan Soviet yang bertumpu pada industri berat, Mao menggalakkan pertanian yang ditunjang industri kecil di pedesaan.

Bedanya Kalau Stalin hanya punya satu kaki, yakni industri berat; sedangkan kita punya dua kaki, yakni pertanian dan industri kecil.

Mao menjejalkan aneka slogan. Para petani harus “menggali lebih dalam” untuk meningkatkan hasil. Ladang-ladang harus bebas dari “empat makhluk jahat”: burung, tikus, serangga, dan lalat. Maka sepanjang 1958 – 1961 jutaan serangga, tikus, lalat, dan burung dibantai.

Saat itu juga kampa­nye baja dan besi pada tahun 1958, awal dari Lompatan Jauh ke De­pan, di mana setiap keluarga harus bekerja pada tungku pembuatan baja, dan setiap rumah tangga harus menyerahkan panci dan wajannya sehingga militer bisa menggunakan untuk bahan baku baja.

Upaya itu berujung pada kegagalan besar. Para petani yang “menggali lebih dalam” belum sempat memetik hasil ketika mereka jatuh kelelahan. Punahnya burung berdampak pada terganggunya keseimbangan alam, sehingga belakangan burung dikeluarkan dari daftar “empat makhluk jahat”.

Para pejabat sadar, ambisi Mao terlalu utopis. Tapi karena takut, mereka memberi laporan ABS (Asal Bapak Senang). Angka produksi digelembungkan, data dan foto hasil panen direkayasa, sementara kenyataannya para petani menderita.

Sepanjang 1958 – 1961 tak kurang dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan; dan merupakan salah satu kelaparan massal terbu­ruk dalam sejarah manusia.

Presiden China ke 2 Liu Shaoqi
Presiden China ke 2 Liu Shaoqi (1959-1968)

Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis China. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.

Liu Shaoqi (Presiden kedua China 1959-1968) diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa China akibat gerakan “Lompat Jauh ke Depan”.

Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan China ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.

Dalam kebijakan pembangunan barunya, Liu dan para pelaksana lainya meninggalkan sebagian besar ciri-ciri “Lompat Jauh ke Depan” dan sebagian kembali pada sistem Pelita I.

Penggunaan intensif material ditolerir lagi dan diarahkan untuk meningkatkan kegiatan usaha atau produktifitas kerja pendududuk, meskipun tidak sepenuhnya meniru pembangunan di Uni Sovyet.

Para ahli, teknisi dan cendekiawan diakui perananya dalam memberikan sumbangan pemikiran dan mengembangkan gagasan-gagasan yang rasional serta jelas dalam revolusi ini. Mereka kemudian mendapatkan kedudukanya kembali dalam masyarakat.

Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu juga berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis China.

Oleh karena itu di daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis.

Sementara Mao sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi.

Itulah Revolusi Kebudayaan yang diluncurkan pada tahun 1966 oleh Mao. “Kebudayaan” tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi Kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme dengan pragmatisme.

Bersambung ke Revolusi Kebudayaan China Bagian II

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?