Ritual Tradisi Bakar Tongkang, atau “Go Gek Cap Lak” merupakan tradisi tahunan masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi, Mereka akan membakar replika Kapal Tongkang pada tanggal 16 bulan 5 Imlek setiap tahunnya.
Bagi masyarakat Tionghoa di luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, dan masyarakat Tionghoa yang ada di Pekanbaru, Selat Panjang, Tanjung Balai Karimun, Batam, dan Tanjung Pinang, Ritual Bakar Tongkang (Hanzi : 烧王船庆典 Pinyin : Shao Wang Chuan Qing Dian), merupakan event tahunan yang wajib dihadiri.
Ritual yang dinamai “Go Gek Cap Lak” oleh orang2 lokal ini awalnya merupakan tradisi tahunan masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi, Riau. Namun atraksi budaya ini semakin populer, dan telah menjadi icon masyarakat setempat.
Ritual Bakar Tongkang kemudian masuk dalam 10 besar pada 100 Calender of Event 2018 untuk Visit Indonesia Year.
Kota Bagansiapiapi yang terletak di kabupatan Rokan Hilir, terkenal dengan sebutan “Kota Ikan” pada tempo dulu, karena merupakan penghasil ikan terbesar setelah kota Bergen di Norwegia (tahun 1928).
Sebutan itu kemudian berganti menjadi Ville Lumiere (kota Cahaya) pada tahun 1934, karena kemajuan dalam fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik, dan unit pemadam kebakaran. Dan sekarang lebih dikenal dengan nama Hongkong Van Andalas.
• Nama Kota : Bagansiapiapi (峇眼亞比; Bayanyapi)
• Luas Wilayah : 47,5 km²
• Jumlah penduduk : 73.360 (sensus lokal 2013)
• Suku Mayoritas : Tionghoa (59,55%), Melayu (34,10%)
A. Latar Belakang Tradisi Bakar Tongkang; Terdamparnya Para Perantau dari Hokkian
Latar belakang adanya ritual ini berawal dari rombongan perantauan orang2 Tiongkok yang berasal dari Xiamen, Fujian, Tiongkok, pada tahun 1820. Mereka melakukan pelayaran menyeberangi samudra, untuk merubah nasib dan mencari penghidupan yang baru.
Rombongan awalnya berangkat dengan 3 kapal tongkang (kapal kayu berlambung datar), namun hanya 1 yang berhasil mencapai pesisir pantai pulau Sumatera. Rombongan yang berhasil tersebut terdiri dari 18 orang yang semuanya bermarga Ang, dipimpin oleh Ang Mie kui.
Keberhasilan ini tak luput dari pertolongan Dewa Tai Sun Ong Ya yang ditaruh dibagian haluan kapal, dan Dewa Kie Ong Ya yang berada di dalam rumah Tongkang. Pada suatu malam yang hening, mereka mendapat petunjuk lewat cahaya samar2, yang menuntun mereka ke daratan.
Baca juga : Bangsa Han dan Perantauannya ke Indonesia. Inilah Sejarah Nenek Moyangmu!
Dengan berpikiran “di mana ada api, disitulah ada daratan (kehidupan)”, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut.
Sesampainya di daratan (selat malaka), sebuah keputusan penting diambil. Mereka memutuskan untuk tidak kembali ke daerah asal, dengan membakar kapal Tongkang yang mereka tumpangi, sebagai wujud terima kasih kepada Dewa laut Kie Ong Ya dan simbol memulai kehidupan yang baru.
Inilah asal mula tradisi tahunan ritual bakar tongkang (yang diyakini sudah ada sejak tahun 1826), sebagai manifestasi ucapan terima kasih kepada Dewa Kie Ong ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya, yang telah membawa nenek moyang mereka dengan selamat ke tanah Bagansiapiapi.
Kedua Dewa ini mewakili keseimbangan (Yinyang), yaitu kebaikan dengan kejahatan, kebahagiaan dengan kesedihan, keberuntungan dengan bencana.
Cahaya samar yang dilihat oleh para perantau pada waktu kehilangan arah ternyata adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang2 di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Sehingga para perantau menamai daratan tersebut Baganapi, yang kini dikenal dengan nama Bagansiapiapi.
Para perantau inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa di Bagansiapiapi, sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang, atau Hong (洪).
Mereka menyadari bahwa disana terdapat banyak ikan, sehingga dengan penuh sukacita mereka pun menangkap ikan untuk bertahan hidup di tanah perantauan tersebut. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki kelompok tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah.
Setelah beberapa tahun, mereka merasa tempat ini cocok, sehingga beberapa diantaranya kembali, untuk mengajak sanak keluarga yang ada di Fujian.
Tidak hanya hasil laut, ternyata Bagansiapiapi, juga memiliki hasil alam, yakni pohon karet. Pada masa Perang Dunia 2, Bagansiapiapi dianggap sebagai salah satu daerah penghasil karet berkualitas tinggi, yang saat itu banyak dipakai untuk keperluan militer, seperti bahan baku pembuatan ban mobil, sarung tangan, dan sepatu.
Demikianlah gelombang perantau Tionghoa semakin banyak datang di nusantara.
Baca juga : Asal-Usul Tatung (Lokthung) Pada Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang
“Ritual Bakar Tongkang” dalam bahasa Hokkian dikenal dengan nama Go Gek Cap Lak, dimana “Go” yang artinya 5, “Cap Lak” yang artinya 16, yaitu hari ke-16 bulan 5 dalam kalender Imlek (五月十六日), yang mana merupakan tanggal dimana para perantau pertama menginjakkan kaki di daratan tersebut.
Acara ritual bakar tongkang dilakukan setiap tanggal 16 bulan 5 Imlek. Persiapan ritual dimulai dengan pengerjaan replika kapal, yang dilakukan berbulan2 sebelum perhelatan. Replika kapal memiliki panjang 8,5 m, lebar 1,7 m, dengan bobot ±400 kg.
Sehari sebelum hari H, kapal akan disimpan dalam Kelenteng Ing Hok Kiong, yang merupakan kelenteng tertua di kawasan Pekong Besar.
Kelenteng yang berumur ratusan tahun inilah tempat Dewa Kie Ong Ya dipuja, dimana patung asli yang dibawa ke-18 perantau pada saat pertama kali menginjakkan kaki di daratan Bagansiapiapi tersimpan.
B. Prosesi Pembakaran Kapal Tongkang; Kemana Arah Tiang Utama Kapal Akan Jatuh?
Prosesi ritual bakar tongkang diikuti oleh para perantau Tionghoa yang ada di Medan, Singkawang, serta dari Negara2 tetangga, seperti Malaysia, Singapore,Thailand, Taiwan dan China.
Untuk mengiringi prosesi, terdapat berbagai atraksi khas oriental, berupa pertunjukan barongsai, naga, dan panggung hiburan yang diisi nyanyian berbahasa Hokkian. Prosesi pembakaran replika kapal tongkang merupakan puncak acara yang paling ditunggu2.
Baca juga : Perlukah Melakukan Tradisi Membakar dan Menyebarkan Kertas Kimcoa (Kertas Emas)?
1. Pertama, mereka akan melakukan ritual persembahyangan di kelenteng Ing Hok Kiong, sebelum kapal di arak ke lokasi pembakaran.
2. Kemudian dilanjutkan dengan menetapkan posisi haluan kapal sesuai dengan petunjuk Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut).
Prosesi ini melibatkan petunjuk seorang medium Tang Ki, yang dipercaya telah dirasuki roh Dewa, dengan menusuk diri dengan benda2 tajam seperti pedang dan tombak tanpa terluka. Aksi ini mirip dengan tradisi Tatung di Singkawang, atau Thangsin di Manado.
Setelah kapal tongkang diletakkan pada posisi pembakaran, kertas kimcoa (kertas emas untuk sembahyang) ditimbun di bagian lambung kapal. Setelah semua rangkaian prosesi telah selesai, acara puncak pembakaran kapal tongkang pun dilakukan.
Kerumunan massa menunggu dengan penuh perasaan was2, kira2 ke arah mana tiang utama kapal akan jatuh? Apakah ke arah laut, atau malah sebaliknya ke arah darat?
Arah tiang yang jatuh dipercaya akan menentukan arah sumber rezeki (nasib) mereka pada tahun mendatang, apakah akan datang dari laut atau darat.
Jika tiang jatuh ke laut, mereka percaya keberuntungan sebagian besar akan datang dari arah laut. Jika tiang jatuh di darat, maka keberuntungan sebagian besar akan datang dari darat.
Sebagai informasi, Kota Bagansiapiapi ditempuh selama ±7 jam lewat perjalanan darat dari Pekanbaru, dengan biaya sekitar 250 ribuan. Di bandara juga tersedia mobil travel carteran ke arah kota Bagan.
Kalau ingin mempersingkat perjalanan, dari bandara Sultan Syarif Qasim II di Pekanbaru, langsung naik pesawat kecil ke bandara Pinang Kampai di Dumai, dengan harga tiket sekitar 400 ribuan. dari kota Dumai, perjalanan diteruskan ke kota Bagan dengan waktu tempuh ±3 jam.
Pada tahun 2018, berdasarkan catatan tingkat hunian hotel dan penyewaan sarana transportasi, kunjungan wisatawan diperkirakan sekitar 69 ribu orang, yang terdiri dari 40 ribu wisatawan nusantara dan 29 ribu wisatawan mancanegara. Artinya, jumlah wisatawan mengalami peningkatan 30% di banding tahun sebelumnya.
Event tahunan bakar tongkang ini gencar dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Riau sebagai sumber pendapatan pariwisata, meski pada era Orde Baru tradisi ini sempat dilarang pemerintah karena dianggap terlalu menonjolkan kecinaan.
Ada satu kesan yang tidak akan terlupakan bagi pengunjung. Budaya ngopi masyarakat disana sangat kental dan unik. Masyarakat Tionghoa menyulap teras rumahnya menjadi warung kopi sederhana, yang dekat sekali dengan badan jalan.
Suasana ini akan menjadi memori yang indah untuk dibawa pulang para pengunjung jika mampir kesana.