Last Updated on 15 July 2023 by Herman Tan Manado
Nama pengusaha Tionghoa-Indonesia Sudono Salim (95), alias Liem Sioe Liong (林紹良), tidak bisa dipisahkan dengan Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.
Beliau lahir dari keluarga petani di Fuqing, Fujian, Republik Tiongkok pada 19 Juli 1916. Nama Soedono diberikan oleh Soeharto, sedangkan Salim adalah nama keluarga (peng-indonesiaan nama pasca 1965) yang ia pilih.
Ia merantau dari Tiongkok ke Hindia Belanda pada usia 20-an, menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, yang telah lebih dahulu merantau ke Hindia Belanda. Setibanya di Kudus, ia bekerja sebagai karyawan pabrik kerupuk. Kisah hidup selengkapnya bisa pembaca simak di artikel berikut.
A. Perkenalan Dengan Soeharto
Lewat perantara sepupunya yang bernama Sulardi, Salim dan Soeharto berkenalan untuk pertama kalinya. Salim kemudian menjadi penyuplai logistik, obat2an, dan senjata untuk tentara Kolonel Soeharto (AD) semasa Perang Kemerdekaan/Agresi Militer Belanda (1945-1949).
Perkenalan itulah yang kemudian mengubah hidup Salim. Bersama pengusaha Cina Rantau lainnya di Hong Kong dan Singapura, dia mulai membangun kerajaan bisnisnya di Indonesia.
Pada awal kepemimpinan Soeharto, Salim adalah orang yang dipercaya Bulog untuk mengimpor 35.000 ton beras pada tahun 1967. Bahkan pabrik pembuatan sabun miliknya menjadi pemasok utama bagi TNI.
Bersama Mochtar Riady, Salim mendirikan usaha pemberian kredit bernama Central Bank Asia, yang kemudian berubah nama menjadi Bank Central Asia pada 21 Februari 1957.
Pada tahun 1968, bersama ke-3 rekannya, dia mendirikan PT Bogasari. Kemudian mereka mendirikan Indocement pada tahun 1975. Lalu pada tahun 1990, ia mendirikan produsen makanan Indofood, pembuat mie instan terbesar di Indonesia.
Setelah Soeharto meraih kekuasaan di Indonesia pada pertengahan 1960-an dan menjadi presiden selama 3 dekade, dia didukung oleh kelompok kroni pengusaha Tionghoa, dimana yang terbesar dan terkuat adalah Liem Sioe Liong,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam bukunya yang berjudul Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016).
Selama 3 dekade itu, keduanya terlibat dalam relasi saling menguntungkan. Soeharto melindungi Liem, dan memastikan bisnisnya berjalan lancar. Sebagai timbal balik, Liem lewat kerajaan bisnis Salim Group-nya menyalurkan dana kepada keluarga Soeharto dan kroni2-nya.
Alhasil, kedua pihak pun berjaya di jalannya masing2, dimana Salim sukses sebagai orang terkaya di Indonesia. Sedangkan Soeharto berjaya dengan memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden di tanah Air. Namun, kejayaan keduanya tiba2 hancur dalam sekejap, sewaktu kerusuhan Mei 1998.
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 : Inilah Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa di Indonesia!
B. Target Amukan Massa
Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Dalam 3 dekade, Salim sukses membangun 3 kerajaan bisnis di 3 sektor utama, yakni perbankan (lewat Bank BCA), bangunan (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Namun semua perlahan rontok ketika memasuki krisis ekonomi dan politik tahun 1998, dimana BCA menjadi yang terparah.
Sejarawan M.C Ricklefs. dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebut, selama masa krisis tahun 1998, nasabah menarik dana secara massal dan besar-besaran. Ratusan orang rela antre berjam2 untuk menguras seluruh tabungannya di kantor2 cabang bank terdekat.
Kondisi ini membuat semua bank, termasuk BCA, tidak lagi dipercaya masyarakat, dan terancam bangkrut. Hingga akhirnya, rangkaian krisis ini mencapai puncaknya pada Mei 1998.
Kedekatan dengan Soeharto rupanya menjadi malapetaka bagi Salim. Munculnya sentimen anti-Soeharto, sebagai buntut meluasnya krisis ekonomi ke kemelut politik menjadi pukulan telak bagi Salim.
Rakyat yang mengetahui kedekatan keduanya, menjadikan Salim sebagai target sasaran, yang artinya Salim sebagai orang terkaya juga harus dihancurkan. Ini terjadi, usai unjuk rasa massa beralih menjadi kerusuhan rasial pada 13-15 Mei 1998.
Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Di hari2 itu, Jakarta dan sekitarnya dilanda kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran terhadap rumah, bangunan pertokoan dan banyak kendaraan. Aksi ini dilakukan oleh massa yang sudah terprovokasi oleh sekelompok orang.
Mereka menyasar bangunan dan kendaraan milik orang Tionghoa, bahkan menargetkan orang Tionghoa itu sendiri.
Baca juga : Siapakah Provokator dan Rekayasa Peristiwa Mei 1998?
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 : “Apa Salah Kami, Sampai Harus Diperkosa dan Dibunuh?”
Jemma Purdey dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan munculnya sentimen rasial terhadap Tionghoa, disebabkan karena ada stereotip di masyarakat bawah, bahwa mereka patut dibenci hanya karena kaya raya dan dekat dengan penguasa Soeharto.
Dan tokoh sentral yang melekat dengan deskripsi itu adalah Sudono Salim.
Baca juga : Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
“Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan sewaktu kerusuhan Mei 98. Bank BCA milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama,” tulis Ricklefs.
Dalam penceritaan Richard Borsuk dan Nancy Chng, sebagai target amukan massa, beruntung sewaktu kerusuhan terjadi, Sudono Salim bersama istri dan beberapa anaknya sedang berada di Amerika Serikat*, menemani Salim yang akan melakukan operasi mata.
Di Jakarta, hanya ada Anthony Salim yang bekerja di Wisma Indocement, Jl. Sudirman. Anthony kala itu sampai tidak berani pulang ke rumah bapaknya di kawasan Roxy. Sebab, kerusuhan massa juga menyasar permukiman2 warga Tionghoa. Dikhawatirkan, jika Salim berdiam diri di rumahnya, dia bisa terbunuh.
Prediksi itu kemudian benar terjadi. Pada pagi hari tanggal 14 Mei, Anthony menerima kabar, kalau rumah bapaknya didatangi sekelompok pemuda bertampang garang, yang bersenjatakan jerigen bahan bakar dan perkakas tajam. Mereka ingin masuk ke rumah mewah Liem.
Anthony tak berkutik. Dia segera memerintahkan satpam2 yang berjaga disana untuk mempersilahkan massa masuk merusak rumahnya, ketimbang dihadang dan terjadi pertumpahan darah karena kalah jumlah.
“Dalam sekejap, seluruh mobil di garasi terbakar, termasuk juga seisi rumah. Mereka membakar furnitur, mencopot lukisan, dan mengobrak-abrik kamar2 di dalam rumah. Bahkan mereka mencoret2 dinding rumah dengan kata2 tidak pantas,” tutur Anthony kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Setelah beberapa menit melakukan itu, asap hitam dengan cepat membumbung tinggi dari kediaman Salim. Di jalanan, foto Salim dilempari batu dan dibakar oleh massa yang marah. (Kompas, 15 Mei 1998).
Melihat situasi Jakarta yang sangat parah, Anthony langsung berpikir untuk pergi meninggalkan kantornya. Dia takut kalau kantornya bakal bernasib sama seperti rumahnya. Dia kemudian bergegas pergi ke Bandara Halim, untuk menuju Singapura dengan menggunakan pesawat jet pribadi.
Pada saat kerusuhan melanda, rumahnya yang berada di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, turut menjadi korban pengerusakan dan penjarahan massa. Dari sanalah, Anthony menetap dan memantau keadaan bisnisnya setelah masa2 sulit itu.
Setelah peristiwa tersebut, Liem senior mulai mengalihkan kepengurusan bisnisnya kepada anak2nya. Dia lalu pindah dan tinggal di Singapura hingga tutup usia pada tahun 2012 (95).
Baca juga : Peristiwa Mei 1998 di Jakarta; Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
C. Keruntuhan Kerajaan Bisnis : Bank BCA di Nasionalisasi
Setelah kerusuhan mereda, dan Soeharto akhirnya lengser, diantara perbankan, bank BCA-lah yang mengalami kerugian terparah.
Di Jakarta dan sekitarnya, tercatat ada 122 kantor cabang rusak, yang terdiri dari 17 kantor terbakar habis, 26 kantor dirusak dan dijarah, dan 75 cabang dirusak tetapi tidak dijarah. Lalu ada sekitar 150 mesin ATM yang dirusak dan diambil uang tunainya, yang ditotal mencapai Rp 3 miliar.
Selain BCA, Indofood juga mendapat serangan. Pabriknya di Solo dijarah dan dibakar, hingga menelan kerugian Rp 42 miliar. Pusat distribusinya di Tangerang juga hancur dan dijarah massa. Hanya Indocement saja yang selamat.
Meski begitu, pukulan telak terjadi di sektor perbankan. Seminggu setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, kendali bank BCA diambil alih oleh pemerintah untuk dinasionalisasi, karena kondisi keuangannya semakin berdarah2 dan tak tertolong, dengan utang sebesar US$4,8 miliar (termasuk utang Salim Group).
Saat itu, 30% saham BCA turut dimiliki oleh 2 keturunan Soeharto.
Pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi menjadikan BCA sebagai Bank Taken Over (BTO). Pengambilalihan ini bertujuan untuk menolong BCA agar tidak jatuh terlalu dalam.
Sejak itulah, BCA tidak lagi menjadi milik keluarga Salim. Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebut, untuk menghidupi kembali mesin2 kekayaannya kala itu, Salim hanya mengandalkan Indofood.
25 tahun setelah kejadian, bisnis keluarga Salim kembaliberjaya. Bisnisnya pun tidak hanya Indofood, tetapi juga merambah sektor migas, konstruksi, dan perbankan.
Catatan* : Diduga sudah ada informan yang memberi tahu terlebih dahulu kepada keluarga Salim, akan adanya potensi penargetan serangan tersebut.
Terima kasih banyak atas artikelnya. Sangat menarik.