Last Updated on 16 March 2025 by Herman Tan Manado

Kampung Cina di Manado pernah mengalami beberapa kali bencana. Diantaranya adalah kebakaran hebat pada September 1880, yang meluluh lantakkan kawasan Kampung Cina. Saat itu, Kapiten Cina di jabat oleh Ong Tjeng Hie yang dikenal sangat dermawan, hingga banyak membantu masyarakat Kampung Cina.

Bencana kebakaran itu kerugiannya ditaksir mencapai 2 juta golden.

Tahun 1883, kawasan Kampung Cina mengalami banjir besar, mengingatkan peristiwa banjir bandang yang menimpa Manado pada 15 Januari 2014. Saat itu, seluruh wilayah Kampung Cina Manado terendam air setinggi ±1 meter.

Kawasan kampung Cina meninggalkan jejak sejarah berupa perkuburan Tionghoa pertama, yang terletak di lokasi gunung Wenang. Di lokasi perkuburan Tionghoa ini kemudian dibangun rumah ibadah Tjeng Beng Su pada tahun 1825, yang tanahnya dibeli dari Datuk Roring, disebelah utara gunung Wenang.

Lokasi perkuburan Tionghoa ini kemudian dipindahkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1848 ke daerah Teling kampung Mahakeret.

Tanah lokasi perkuburan disumbang oleh seorang yang bernama Tan Kiem Bie Nio. Kawasan perkuburan Tionghoa di Teling kemudian dikelola oleh perkumpulan Kong Djoe Sin Tong, yang didirikan pada tanggal 8 April 1902.

Kemudian berdiri pula Perkumpulan Amal Hok Seng Hwee. Oleh pemerintah Hindia Belanda, lokasi lama bekas pekuburan Tionghoa dibangun rumah sakit yang diberi nama “Koningen Wilheemina Ziekenhuis”, dan berubah nama menjadi rumah sakit Gunung Wenang.

Setelah rumah sakit gunung Wenang pindah ke daerah Malalayang, kini dilokasi tersebut berdiri hotel Peninsula. Pada tahun 1961, pekuburan Tionghoa Teling di tutup pemerintah kota Manado dan dipindahkan ke pekuburan Paal 2.

Dalam suatu kawasan kampung Cina, biasanya identik dengan berdirinya Klenteng. Masyarakat Tionghoa kemudian membangun Klenteng pertama dengan nama Klenteng Ban Hing Kiong.

Ada beberapa catatan sejarah menyatakan, bahwa Klenteng ini dibangun jauh sebelum dibuat semi permanen, bahkan ada dokumen yang menyatakan bahwa Klenteng Ban Hing Kiong sudah dibangun sejak tahun 1719. Sedangkan bangunan semi permanen mulai dibangun pada tahun 1819.

Klenteng Ban Hing Kiong dibangun atas inisiatif beberapa tokoh Tionghoa di masa itu, dan tercatat dalam dokumen ada 2 tokoh yang bernama Tan Pin dan Yauw Pek.

Klenteng ini dibangun diatas lahan yang sebelumnya tanahnya berawa dibelakang benteng Fort Amsterdam, yang lokasinya kelak disebut kampung Cina. Lokasi ini diberikan pemerintah kolonial Belanda, dengan maksud agar dapat mengumpulkan komunitas Tionghoa dalam pengawasannya.

Awalnya bangunan Klenteng berdinding nipah (nibong), dan beratapkan rumbia. Kemudian diganti dengan dinding yang terbuat dari papan dan beratap seng.

Klenteng Ban Hing Kiong sejak dibangun hingga saat ini, tempat pemujaan utama altar tengah adalah Ma Zu (Mak Co), sebutan untuk Dewi yang bergelar Tian Shang Sheng Mu (Thian Siang Sheng Bo). Di sebelah kiri terdapat altar Guang Ze Zun Wang (Kong Tek Cun Ong), dan sebelah kanannya terdapat altar Fu De Zheng Shen (Hok Tek Cing Sin).

Tampak situasi kelenteng Ban Hing Kiong sehari pasca terbakar.
Tampak kegiatan sembahyang bersama dilakukan 2 minggu pasca kebakaran.
Tampak pembangunan kembali kelenteng Ban Hing Kiong yang dilakukan setahun pasca kebakaran.

Klenteng Ban Hing Kiong sempat dipugar pada tahun 1854 hingga 1859. Kemudian dipugar lagi pada tahun 1895 hingga 1902. Pada tanggal 14 Maret 1970, Klenteng Ban Hing Kiong dibakar massa akibat kerusuhan berdimensi SARA. Peristiwa ini dkenal dengan nama Tragedi 14 Maret 1970.

Di sore hari itu, massa yang telah terprovokasi, yang berasal dari kampung Arab bergerak menuju kampung Cina, yang letaknya hanya berdampingan (dipisah selebar jalanan saja). Mereka mulai mendobrak pintu2 rumah dan pertokoan, serta menjarah isi barang dagangan orang Tionghoa yang ada.

Sebenarnya tragedi pembakaran klenteng ini dipicu oleh persoalan sederhana. Dialog yang sebenarnya hanya candaan biasa antara pemilik toko (teridentifikasi bernama Ceng Yan, pemilik toko Metro, juga merupakan orang tua ketua Yayasan Sekolah Eben Haezar) bersama dengan 2 orang pelanggannya, namun ditafsirkan sebagai bentuk penghinaan terhadap nabi mereka.

Ada juga kisah heroik munculnya tokoh bekas tentara permesta bernama Goan Sangkaeng, pentolan jago kungfu Tionghoa Bantik yang akan mencari para pelaku pembakaran Klenteng. Karena rasa solidaritas yang tinggi, dia bersama ratusan massa akan turun gunung menumpang truk2 dari Minahasa ke Manado, shg pergerakannya dihentikan oleh tentara dan polisi agar kerusuhan tidak makin meluas.

Klenteng Ban Hing Kiong kemudian dibangun kembali pada tahun 1971-1972, saat Soei Swie Goan (Nyong Loho) menjabat sebagai Ketua Klenteng kala itu, sekaligus Ketua MAKIN Manado (beliau juga dikenal mantan atlet tenis meja Nasional).

Pada masa lalu, untuk mengurus Klenteng, biasanya Kapitein Cina mengangkat Kethio-kethio sebagai kepala agama. Tahun 1906, berdiri perkumpulan “De Chineesche Gemente Toapekong Manado” yang berbadan hukum, untuk mengurus aset Klenteng Ban Hing Kiong.

Tanggal 26 Maret 1960, perkumpulan ini berubah nama menjadi “Perkumpulan amal Toapekong” (大伯公; Da Bo Gong). Pada Mei 1935, atas upaya Yo Sioe Sien & Que Boen Tjien, berdirilah perkumpulan Sam Khauw Hwee yang mengatur berbagai keperluan Klenteng Ban Hing Kiong dan memberi penerangan agama.

Pasca dibangunnya kembali Klenteng Ban Hing Kiong akibat terbakar, pada tahun 1972 berdiri Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Manado yang berpusat di Klenteng Ban Hing Kiong.

Makin Manado bernaung dibawah Majelis Tinggi Agama Khonghucu indonesia (MATAKIN), dengan ketua pertama Soei Swie Goan (Nyong Loho).

Tahun 1984, akibat politik rezim orde baru yang mengeluarkan berbagai keputusan hukum yang sangat diskriminatif terhadap agama Khonghucu, maka Klenteng Ban Hing Kiong bernaung dibawah Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma (P-TITD) hingga saat ini.

Setelah Klenteng Ban Hing Kiong berdiri di kawasan kampung Cina, menyusul kemudian pada tahun 1839 dibangun Rumah Abu Kong Tek Su, yang merupakan tempat persembahyangan kepada para leluhur.

Beberapa Klenteng baru kemudian menyusul dibangun, yakni Klenteng Na To Koan pada tahun 1959, kemudian berubah nama menjadi Klenteng Lo Cia. Klenteng Kwan Kong dibangun tahun 1967, lalu menyusul Klenteng Kwan Im Tong tak lama setelahnya.

Pada tahun 1984 saat kebaktian Khonghucu mulai dilaksanakan di sekolah Garuda, dimana dulunya gedung sekolah Tionghoa Yok Tjae, dibangunlah tempat ibadah Liktang Gerbang Kebajikan.

Umumnya masyarakat Tionghoa beraktifitas sebagai pedagang. Usaha dagang dalam skala besar yang terkenal di Manado adalah Firma NV Lie Bun Yat & Co.

Namun firma atau perusahaan besar yang dianggap perintis dan dibangun di Kampung Cina adalah milik Wijkmeester kampung Cina, Tan Tjin Bie yang kelak menjadi Kapitein Cina Manado.

Pada bulan Juni 1905, bersama dengan Tan Tjin Giok dan pengusaha B.A. Renesse van Duivenbode, Tan Tjin Bie mendirikan Firma Giok Bie en co. Firma lain yg terkenal adalah NV Liem Oei Tiong & Co.

Pada tahun 1923, Liem Oei Tiong menerbitkan mingguan berbahasa Tionghoa Melayu bernama Keng Hwaa Po. Selain itu, terdapat pula media lain yang terbit secara mingguan, bernama “Fikiran” yang merupakan milik NV Lie Boen Yat.

Walaupun saat ini kawasan Kampung Cina tidak lagi dihuni mayoritas masyarakat Tionghoa, namun beberapa pertokoan di kampung Cina dikenal luas oleh penduduk kota Manado maupun masyarakat Sulawesi Utara hingga kini, masih terus eksis.

Cohtohnya seperti toko obat Cina Tek Ho Long dan toko obat Cina Lie Thay, toko sembako Hap Hoo, rumah Makan Tjiet Yit Hien, rumah makan Foe Wah, toko Kain Thay Hoo (toko Kerawang), juga pabrik anggur minuman beralkohol merek Kasegaran, dulunya Fae On Jok Fong.

Bersambung bagian III : Sejarah Kampung Cina di Manado, Sulawesi Utara (Bagian III END)

By Penulis Lepas Tionghoa

Kumpulan artikel yang berasal dari Penulis Lepas blog Tionghoa.INFO. Klik halaman 'Authors' untuk bergabung bersama kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?