Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan Manado

Jika menarik benang merah sejarah romanisasi ejaan Mandarin tertua, semua sistem yang digunakan di masa modern berasal dari sekitar 2000 tahun yang lalu.

Seorang ahli tata bahasa Sansekerta dari India mengunjungi Tiongkok untuk melakukan pekerjaan berupa penerjemahan kitab-kitab sutra Buddha ke bahasa Tionghoa dan istilah-istilah Buddhisme ke bahasa Tionghoa.

Ahli tata bahasa tersebut menemukan struktur “bunyi awalan”, “bunyi akhiran” dan “nada” dalam ejaan bahasa percakapan Tionghoa. Penemuan struktur ini ditunjukkan dalam sistem Fanqie paling akurat, dan menjadi prinsip utama dari semua sistem ejaan modern.

Namun sistem Fanqie ini terbatas penggunaannya, karena lebih cocok untuk karakter-karakter yang digunakan dalam sastra Tionghoa klasik yang kebanyakan menggunakan suku kata tunggal (monosyllabic) dan tidak cocok digunakan untuk bahasa percakapan yang memilki suku kata lebih banyak (polysyllabic) seperti bahasa Mandarin.

Sebelum sistem Hanyu Pinyin diperkenalkan sebagai standar ejaan dalam bahasa Mandarin, telah dikenal beberapa sistem ejaan yang dipakai di dalam dan di luar Tiongkok untuk menggunakan bahasa Mandarin.

Proses romanisasi bahasa Mandarin (menjadi hanyu pinyin) telah dilakukan sejak era dinasti Ming (1368–1644) oleh seorang pendeta Jesuit dari Italia bernama Mateo Ricci (6 Oktober 1552 – 11 Mei 1610).

Ia menerbitkan sebuah buku berjudul Xizi Qiji (西字奇蹟), atau dalam bahasa Inggris disebut “Miracle of Western Letters“, dan dalam bahasa Indonesia berarti “Keajaiban Aksara-Aksara Barat” di Beijing. Ini adalah buku pertama yang menggunakan alfabet Latin untuk menuliskan bahasa Mandarin.

20 tahun kemudian, tokoh Jesuit lainnya di Tiongkok, Nicholas Trigault, menulis bukunya berjudul Xi Ru Ermu Zi (西儒耳目資), atau dalam bahasa Inggris berjudul Aid to the Eyes and Ears of Western Literati” di Hangzhou.

Namun kedua buku ini tidak memberikan pengaruh besar mengenai sistem penulisan di masyarakat Tiongkok, karena buku tentang romanisasi ini sendiri lebih ditujukan untuk bangsa barat, alih-alih masyarakat Tiongkok sendiri.

Di Tiongkok sendiri, salah satu cendekiawan paling awal yang memiliki ide untuk menghubungkan alfabet Latin ke bahasa Mandarin adalah seorang sarjana kekaisaran bernama Fang Yizhi (方以智; 1611–1671).

Di akhir kekuasaan dinasti Qing, seorang pembaharu yang ingin mengadopsi sistem ejaan untuk bahasa Mandarin adalah Song Shu (宋恕; 1862–1910), murid dari sarjana terkemuka pada masa itu, Yu Yue dan Zhang Taiyan. Ia pergi ke Jepang dan menemukan efek luar biasa dari sistem ejaan huruf kana dan pembelajaran gaya barat di sana.

Ini membuatnya bersemangat untuk merencanakan reformasi dalam pembelajaran karakter-karakter Hanzi. Walaupun Song sendiri belum benar-benar membuat sistem ejaan untuk bahasa Sinitik tersebut, diskusi dan semangatnya telah mewariskan inspirasi dan ide dalam penemuan sistem ejaan fonetik bahasa Mandarin.

Dalam prosesnya sendiri, sistem romanisasi ini dirancang baik oleh orang-orang Barat maupun orang Tiongkok sendiri. Sistem yang ditemukan oleh orang Barat dimulai dari kedatangan misionaris Jesuit Italia ke Tiongkok hingga dikenalnya sistem Yale Romanization;

sementara sistem romanisasi yang dilakukan di Tiongkok terdiri atas Qieyin Xinzi, Gwoyeu Romatzyh, Latinxua Sinwenz, dan terakhir adalah Hanyu Pinyin.

“Bahasa Nasional” (國語; Guóyǔ) ditulis dalam karakter hanzi tradisional & yang disederhanakan, diikuti oleh Hanyu Pinyin (biru), Gwoyeu Romatzyh (ungu), Wade-Giles (cokelat), dan Yale romanizations (oranye).

A. Sistem Romanisasi di Barat

1. Wade-Giles

Sistem romanisasi pertama yang pertama kali diterima secara luas adalah sistem yang digunakan oleh seorang diplomat Inggris yang juga profesor Sinologi di Universitas Cambridge bernama Thomas Wade, yang direvisi dan dikembangkan lagi oleh penerusnya yaitu Herbert Giles (1892) hingga dikenal sistem Wade-Giles.

Profesor Giles sendiri menjadi satu-satunya akademisi Cambridge pada masa itu setelah Thomas Wade yang memiliki wawasan paling banyak mengenai kitab-kitab sastra Tiongkok klasik warisan dari seniornya dan menikmati posisinya untuk menerjemahkan kitab-kitab tersebut.

Salah satu terjemahannya yang paling terkenal adalah edisi pertama terjemahan kumpulan cerita pendek Liaozhai Zhiyi dalam bahasa Inggris (dengan judul Strange Tales from Chinese Studio).

Kelemahan utama sistem Wade-Giles adalah dalam penggunaannya mengharuskan banyak tanda kutip, tanda diakritik, dan digit superskrip (contohnya : Ch’üeh4). Tanda-tanda ini sangat penting namun sering diabaikan dalam teks yang tidak ditulis oleh ahli Sinologi pada masa itu.

Oleh karena itu, ada beberapa kata dalam bahasa Mandarin yang tidak ditemukan ejaannya dalam sistem Wade-Giles karena ambiguitas ejaan yang bisa muncul dalam penggunaannya.

Namun terlepas dari banyaknya ejaan ambigu dan ketidakkonsistenan dalam sistem Wade-Giles, inovasi yang berhasil ditemukan dalam sistem ini adalah penggunaan nada.

2. Sistem EFEO

Sistem ini dirancang pada tahun 1902 oleh Séraphin Couvreur dari institusi École française d’Extrême-Orient. Sistem ini paling banyak digunakan di negara-negara frankofoni (negara-negara berbahasa Perancis) untuk menulis ejaan Mandarin hingga abad ke-20, walaupun setelahnya digantikan oleh Hanyu Pinyin secara bertahap.

3. Postal Romanization

4. Yale romanization

Sistem ini dirancang di Yale University selama Perang Dunia II untuk memfasilitasi komunikasi anggota militer Amerika Serikat dengan rekan-rekan mereka dari Tiongkok. Sistem ini menggunakan ejaan yang mirip dengan fonem Mandarin modern (Hanyu Pinyin) dibanding sistem lain.

Sistem ini digunakan cukup lama, karena digunakan di buku-buku ajar dan menjadi sistem yang digunakan di kampus tersebut dalam mengajarkan bahasa Mandarin pada para mahasiswanya. Sistem Yale sendiri mengajarkan bahasa percakapan Mandarin dan struktur kalimat.

Lalu pada tahun 1960 dan 1970-an, di Australia, di Inggris dan Amerika Serikat, pilihan untuk mempelajari karakter tradisional maupun yang disederhanakan, serta Hanyu Pinyin ataupun Gwoyeu Romatzyh memiliki kepentingan politik sendiri dengan Partai Komunis Tiongkok atau Kuomintang.

Banyak akademisi Tiongkok yang tinggal di luar negeri dan akademisi Barat mengambil salah satu pilihan dari pilihan-pilihan tersebut. Buku-buku ajar di Yale, sistem pengajaran dan romanisasi Yale mewakili cara ke-3 sebagai posisi netral. Sistem Yale ini sendiri menjadi salah satu pelopor dari sistem Hanyu Pinyin.

B. Sistem Romanisasi di Tiongkok

1. Qieyin Xinzi

Sistem romanisasi modern bahasa Mandarin Qieyin Xinzi (Hanzi : 切音新字), dalam bahasa Inggris disebut “New Phonetic Alphabet” dikembangkan pada 1892 oleh Lu Zhuangzhang (1854–1928). Sistem ini digunakan untuk menuliskan ejaan dialek Xiamen dari Min Selatan.

2. Gwoyeu Romatzyh

4 nada ‘guo’ ditulis dalam Hanzi & ejaaan Gwoyeu Romatzyh. Perhatikan ke 4 perbedaan ejaannya dalam alfabet yang diberi warna merah untuk setiap nada.

Pada tahun 1923, Kementerian Pendidikan Kuomintang membentuk Komisi Pemersatu Bahasa Nasional. Di dalamnya dibentuk 11 anggota satuan romanisasi bahasa. Namun keadaan politik saat itu menghambat keluaran positif dari pembentukan komisi ini.

Suatu subkomite baru yang bekerja dengan sukarela dibentuk secara independen oleh sekelompok akademisi yang memperjuangkan proses romanisasi bahasa Mandarin. Komite ini berkumpul 20 kali selama periode 12 bulan (1925–1926), terdiri atas Zhao Yuanren, Lin Yutang, Qian Xuantong, Li Jinxi, dan Wang Yi.

Mereka mengembangkan sistem Gwoyeu Romatzyh, dicetuskan pada 26 September 1928. Aspek yang paling membedakan sistem ini adalah variasi nada dari “suku kata dasar” dengan variasi tersistematis dalam ejaan suku kata tersebut. Sistem ini seluruhnya dapat dituliskan dengan keyboard QWERTY saat ini.

Walaupun pada faktanya sistem ini dirancang untuk menggantikan karakter Hanzi secara bertahap dan dibuat oleh ahli bahasa, sistem ini tidak pernah digunakan secara luas untuk tujuan lain selain menunjukkan ejaan beberapa karakter Hanzi tertentu dalam kamus.

Dan walaupun aspek penekanan nada dalam setiap suku kata ini masuk akal bagi para pengguna bahasa Mandarin dari Barat, kerumitan sistem nada di dalamnya membuat sistem ini justru tidak populer di kalangan masyarakat Tiongkok sendiri.

3. Latinxua Sinwenz

Proses pengembangan sistem Latinxua Sinwenz dimulai di Moskow pada awal tahun 1928 saat Institut Riset Ilmiah Soviet (Soviet Scientific Research Institute) di Tiongkok berniat untuk membantu orang-orang Tiongkok yang tinggal di wilayah timur Uni Soviet melek huruf dengan memfasilitasi mereka untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi.

Prototipe sistem romanisasi awal ini dirancang pada tahun 1929 oleh seorang akademisi Tiongkok berpengaruh yang tinggal di Moskow Qu Qiubai (1899–1935) serta ahli bahasa Rusia V.S. Kolokolov (1896–1979). Sistem ini jauh berbeda dengan sistem romanisasi lain, karena sejak awal sistem ini dibuat untuk menggantikan penggunaan karakter Hanzi.

Para peneliti Soviet ini memutuskan untuk menggunakan alfabet latin alih-alih alfabet Cyrillic (alfabet bahasa Slavia seperti dalam bahasa Rusia) untuk romanisasinya karena akan sangat membantu program edukasi mereka bagi orang-orang Tiongkok tersebut.

Tidak seperti Gwoyeu Romatzyh yang memiliki sistem nada rumit, sistem ini tidak menggunakan nada sama sekali. Oleh karena itu, sistem ini tidak hanya bisa dipakai untuk bahasa Mandarin, tapi juga untuk dialek-dialek lokal.

Pada 1931, sebuah kerjasama antara ahli bahasa Soviet B.M. Alekseev, A.A. Dragunov dan A.G. Shrprintsin, serta akademisi Tiongkok yang tinggal di Moskow seperti Qu Qiubai, Wu Yuzhang, Lin Boqu (林伯渠), Xiao San, Wang Xiangbao, dan Xu Teli menetapkan sistem Latinxua Sinwenz.

Sistem ini juga didukung oleh sejumlah cendekiawan Tiongkok seperti Guo Moruo dan Lu Xun. Sistem ini diuji coba pada 100.000 pekerja imigran dari Tiongkok selama4 tahun. Selanjutnya pada tahun 1940–1942, diuji cobakan di wilayah perbatasan Tiongkok Shaanxi, Gansu dan Ningxia yang dikuasai oleh komunis Soviet.

Pada November 1949, seluruh jalan kereta api di wilayah tenggara Tiongkok mengadopsi sistem Latinxua Sinwenz untuk keperluan komunikasi jarak jauh. Saat itu, sistem ini sangat berguna untuk menyebarkan literasi di Tiongkok Utara, dan lebih dari setengah juta berita dan publikasi ditulis dalam Latinxua Sinwenz.

Namun penggunaan sistem ini akhirnya tidak dilanjutkan karena tujuannya yang terlalu ekstrim untuk menggantikan karakter hanzi asli, dikhawatirkan nantinya orang-orang Tiongkok akan meninggalkan bahasa tulisan asli mereka.

4. Hanyu Pinyin

Pada Oktober 1949, Asosiasi untuk Reformasi Bahasa Mandarin Tulis dibentuk. Wu Yuzhang (salah satu perancang Latinxua Sinwenz) ditunjuk sebagai ketua.

Semua anggota pada awal pembentukannya terdiri atas anggota pergerakan sistem Latinxua Sinwenz, yakni Ni Haishu (倪海曙), Lin Handa (林汉达), dsb, atau pergerakan Gwoyeu Romatzyh Li Jinxi (黎锦熙), Luo Changpei, dsb.

Namun mereka semua adalah ahli bahasa yang sangat terlatih. Tujuan awal mereka adalah “proyek fonetik dengan mengadopsi alfabet latin” sebagai tujuan utama riset mereka. Ahli bahasa Zhou Youguang ditunjuk sebagai ketua komite ini.

Dalam sebuah pidato yang disampaikan pada 10 Januari 1958, Zhou Enlai mengamati bahwa Komite ini telah menghabiskan waktu 3 tahun mencoba menciptakan alfabet fonetik non-latin untuk bahasa Mandarin (mereka juga berusaha untuk mengadopsi Zhuyin Fuhao), tapi belum ada hasil yang memuaskan.

Akhirnya beliau menyatakan dengan tegas :

Di masa depan, kita harus mengadopsi alfabet latin sebagai alfabet fonetik Mandarin. Alfabet ini digunakan secara luas dalam bidang saintifik dan teknologi serta kegunaan sehari-hari, sehingga lebih mudah diingat. Dengan mengadopsi alfabet latin, maka kesempatan popularisasi bahasa Tionghoa akan lebih besar.

Perkembangan Hanyu Pinyin sendiri adalah sebuah proses rumit yang melibatkan banyak keputusan dalam menangani aspek-aspek sulit seperti :

♦ Apakah ejaan Hanyu Pinyin harus berdasarkan dialek Beijing?
♦ Apakah Hanyu Pinyin akan benar-benar menggantikan karakter Hanzi, atau hanya untuk membantu cara membaca dan mengeja?
♦ Apakah sistem penulisan karakter tradisional harus disederhanakan?

♦ Apakah Hanyu Pinyin harus menggunakan alfabet latin?
♦ Apakah Hanyu Pinyin harus menentukan nada dalam semua kasus (seperti Gwoyeu Romatzyh)?
♦ Apakah Hanyu Pinyin hanya untuk bahasa Mandarin, atau bisa digunakan untuk dialek dan bahasa daerah lain?

♦ Apakah Hanyu Pinyin dibuat untuk menyebarkan bahasa Mandarin (Putonghua) ke seantero Tiongkok?

Meskipun ada fakta bahwa “Skema Draft untuk Alfabet Fonetik Mandarin” yang diterbitkan di koran “People’s China” pada 16 Maret 1956 mengandung beberapa karakter tidak lazim, komite ini segera memutuskan untuk beralih ke alfabet latin dengan pertimbangan berikut :

Alfabet latin digunakan secara luas oleh para ilmuwan tak peduli apa bahasa ibu mereka, dan banyak istilah teknis ditulis dalam bahasa latin.

Alfabet latin lebih mudah ditulis dan dibaca, serta digunakan berabad-abad di seluruh dunia. Oleh karena itu akan lebih mudah diaplikasikan dalam perekaman ejaan bahasa Mandarin.

♦ Jika penggunaan alfabet Cyrillic akan menguatkan ikatan dengan Uni Soviet, alfabet latin lebih familiar bagi kebanyakan siswa Rusia, dan penggunaannya akan menguatkan ikatan antara Tiongkok dan banyak negara Asia Tenggara yang sudah tidak asing dengan alfabet latin.

♦ Sebagai jawaban untuk kata-kata Mao Zedong bahwa “patriotisme budaya” harus jadi “faktor pemberat” dalam pemilihan alfabet; meskipun alfabet latin adalah alfabet asing, namun bisa berperan sebagai alat untuk ekspansi ekonomi dan industri.

Selain itu, dua orang Tiongkok yang paling kuat rasa patriotiknya, Qu Qiubai and Lu Xun, menekankan bahwa penggunaan alfabet latin tidak akan mengurangi patriotisme mereka.

♦ Bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Polandia, dan Cekoslowakia menggunakan alfabet latin yang sudah dimodifikasi untuk penggunaan bahasa mereka.

Karena alfabet latin diturunkan dari alfabet Yunani yang berasal dari bangsa Phoenisia dan Mesir, timbul banyak kebimbangan dalam penggunaan alfabet latin apabila masih menggunakan bilangan Arab dan simbol matematika konvensional, terlepas darimana asalnya.

Pergerakan untuk reformasi bahasa sempat berhenti selama Revolusi Budaya dan tidak ada yang diterbitkan sejak 1966 hingga 1972. Subjudul menggunakan Pinyin yang muncul di koran People’s Daily dan Red Flag pada 1958 tidak muncul sama sekali antara Juli 1966 dan Januari 1977.

Di akhir perancangan sistem Hanyu Pinyin, didapatkan kesimpulan :

♦ Digunakan hanya untuk menentukan cara membaca dan mengeja
♦ Didasarkan dari ejaan dialek Beijing
♦ Menggunakan tanda nada
♦ Mencakup model tradisional “bunyi awalan”, “bunyi akhiran” dan “nada suprasegmental”
♦ Ditulis dengan alfabet latin

Hanyu Pinyin dikembangkan dari arahan Mao Zedong pada tahun 1951, melalui pengumuman pada 1 November 1957 berupa versi draft Dewan Negara. Bentuk akhirnya disetujui oleh Dewan Negara pada September 1978 dan diterima oleh standarisasi ISO pada 1982 sebagai standar transkripsi bahasa Mandarin.

Referensi :

Romanization of Chinese
Hanyu Pinyin
History and Prospect of Chinese Romanization

By Amimah Halawati

Seorang mahasiswa pasca perguruan tinggi teknik Negeri di kota Bandung. Mojang Priangan berdarah Sunda namun memiliki minat besar dengan bahasa dan budaya Tionghoa. Pecinta buku dan senang menulis, khususnya fiksi fantasi yang bertema mitologi dan kebudayaan Tionghoa.

One thought on “Sejarah Romanisasi Ejaan Bahasa Mandarin”
  1. Sumber dari media Tionghoa.Info memberi banyak masukan dan manfaat, khusus bagi komunitas penulis/penyusun buku Mandarin di Indonesia. Saya adalah salah satu di antara penyusun sangat membutuh bahan refernsi. Sebagai media elektronis di internet, diharapkan “Tionghoa.Info” dapat menyajikan bahan bacaan yang updated.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?