Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang diajarkan orang tua kita kepada kita sewaktu masih kecil merupakan warisan dari leluhur-leluhur kita. Tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan ini telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Dari generasi ke generasi berikutnya sebagian besar adalah sama.

Rata-rata manusia adalah lebih senang mendengarkan tahayul yang tidak masuk di akal dan jauh dari kenyataan.

Bila sudah mendengar “cerita bohong” ini, konon bisa sampai lupa waktu dan berjam-jam tahan mendengarnya; bahkan dituruti dengan patuh. Sehingga tak pelak lagi di dalam cara penyampaian tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan kepada generasi berikutnya mengandung unsur ketahayulan.

Hal itu berlangsung hingga generasi yang sekarang. Tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang mengandung unsur ketahayulan tersebut sudah mendarah daging di dalam tiap generasi.

Karena kemajuan zaman serta adanya cara penyampaian tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang, maka banyak penganut yang meninggalkan tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang lama.

Bagaimana generasi muda Tionghoa menanggapi/menyikapi persoalan seperti di atas? Apabila ada tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang sudah “tidak sesuai” bagi kita, apakah harus ditolak mentah-mentah?

Kita yang hidup pada zaman ini mengakui bahwa kita adalah pewaris tradisi, lakon tradisi dan bersamaan dengan itu kita juga sebagai pencipta tradisi baru.

Nah, kalau kita sebagai generasi muda Tionghoa sangat menyayangkan apabila tradisi, adat ajaran dan kebiasaan kita yang baik dan masih relevan justru sudah mulai ditinggalkan.

Yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda Tionghoa adalah memperjuangkan dan mempertahankan tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan baik leluhur kita.

Sebelumnya kita generasi muda Tionghoa harus bisa meluruskan, yang dalam artian memberikan pengertian-pengertian secara logis dan masuk akal tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan leluhur kita; sehingga orang lain menyadari bahwa tradisi, adat, ajaran  dan kebiasaan leluhur kita bukanlah tahayul.

Ketahayulan dalam tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang telah mendarah daging, kita sebagai generasi muda Tionghoa seharusnya menyadari hal tersebut.

Untuk masyarakat awam diperlukan waktu yang lama untuk mengubah suatu keadaan/kebiasaan, tidak bisa secepat seperti membalikkan telapak tangan.

Kita sebagai generasi muda Tionghoa bukan berarti menolak tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan yang sudah tidak sesuai lagi, melainkan menyesuaikan diri pada tradisi, adat, ajaran dan kebiasaan setempat, tergantung dari kesadaran kita.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Sikap Generasi Muda Tionghoa Sebagai Penerus Tradisi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?