Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Bab 10 :
Teratai emas mempertanyakan nasibnya.
Pendeta pembakar abu pemujaan mendengar suara orang bercinta.
Satu bulan telah berlalu, tanpa sekalipun Hsimen pernah mengunjungi Teratai emas. Sementara itu Hsimen telah berkenalan dengan seorang wanita kaya umur tiga puluhan, janda Mong Yuloh, dibawa kerumahnya, untuk menggantikan kedudukan Tscho Tiu’rl, istri ketiganya yang telah meninggal, dan juga telah mengangkat dayang Sun Hsueo menjadi istri keempat.
Setiap hari Teratai emas yang ditinggalkan hanya menyender di tiang pintu sambil memandang hampa ke arah kejauhan. Meskipun ia sering menyuruh ibu Wang pergi ke rumah Hsimen, tapi penjaga pintu tidak mengijinkan masuk dengan 1001 alasan.
Dan Ying’rl yang juga sekali2 disuruh mencari Hsimen bila ibu Wang berhalangan, sama sekali tidak berani menghampiri rumah besar itu, ia hanya memuaskan diri dengan mengintai dari kejauhan.
Dan bila kemudian si gadis cilik Ying’rl pulang kerumah tanpa hasil, maka ia akan dimaki dan diludahi mukanya, sebagai hukuman ia harus bertekuk lutut setengah harian tanpa makan dan minum.
Pada suatu hari diawal bulan Agustus, di musim panas. Teratai emas memerintahkan Ying’rl menyiapkan air panas untuk mandi. Hanya dengan mengenakan baju tipis ia duduk dibangku.
Apakah akhirnya hari ini ia akan datang? Untuk jaga2 ia telah menyiapkan sebakul penganan Lumpia (gorengan kulit tepung isi daging dan sayuran) hasil buatan sendiri.
“Dasar lelaki tidak tahu terimakasih!” geramnya beberapa kali dengan suara rendah. Tak berdaya, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, ia mencopot sepatu satin merahnya, dan melempar untuk mempertanyakan nasib, ia ingin tahu, apakah Hsimen masih ingat padanya atau tidak. Beberapa kali ia mencobanya, dan akhir nya menjadi bosan dan pergi tidur ke ranjangnya.
Dua jam kemudian ia bangun dengan uring2-an. Ying’rl melapor, bahwa air mandi sudah siap. Teratai emas ingat akan sebakul Lumpianya, dan menyuruh Ying’rl membawakan nya dan dengan jari2 nya indah ia menghitungnya.
“Aku menggoreng nya sebanyak 30 buah, sekarang cuma ada 29 buah. Mana yang ke tiga puluh nya?”
“Aku tidak tahu, mungkin kau salah hitung”
“Tidak mungkin, aku telah menghitungnya beberapa kali. Makanan itu disiapkan untuk tuan Hsimen” Berani2 nya kau budak hina mengambil sebuah! Awas, akan kuberikan pelajaran supaya kau dengar kata!
Dengan paksa Teratai emas mencopot pakaian Ying’rl, dan mencambuk dengan cambuk kuda sebanyak 30 kali dipunggungnya.
“Sekarang kau mau mengaku tidak?” bentaknya pada si korban, yang merintih bagaikan anak babi di sembelih. “Kalau tidak mengaku, akan kucambuk lagi sebanyak 100 kali!”
“Yah, yah” tangis Ying’rl, “Jangan cambuk aku lagi! Aku telah memakannya sebuah karena menjadi bodoh saking kelaparan”
“Begitu yah! Dan kau telah menyalahkanku, aku salah hitung! Berani nya kau main gila denganku! Akan kupukul kau sampai sobek! Kau pelacur hina!”
Ia mencambuknya sekali lagi, lalu ying’rl disuruh berdiri disampingnya, dan diperintahkan untuk mengipasinya.
Setelah dikipasi beberapa lama, ia mulai lagi : “Perlihatkan wajahmu kesini! Aku akan mencakar dengan kuku ku” Dengan menurut, Ying’rl menyodorkan mukanya, dan kuku tajam menghunjam pipinya, membuat dua buah guratan berdarah. Setelah itu ia melepaskan si malang Ying’rl. Ia sendiri menghampiri cermin, membersihkan dan membedaki wajahnya, lalu pergi keluar ketempat yang biasa.
Dan kebetulan, pada saat itu ia melihat Tai A’rl pelayan tuan Hsimen sedang berkuda.
“Hey, mau kemana?” teriaknya kepada si pelayan.
Tai A’rl turun dari kuda, dan mendekatinya.
“Mau ke Komandan” jawabnya, “Aku disuruh membawakan hadiah”
Setelah ditanya sana sini, akhirnya Tai A’rl memberitahukan, bahwa Hsimen telah menikah lagi dengan nyonya Mong Yuloh.
Dan airmata nya yang seindah mutiara pun bergulir di pipinya. Ketika si pelayan cilik Tai A’rl selesai dengan ceritanya, Teratai emas menangis tersedu sedu.
“Jangan nangis dong” hibur si pelayan cilik. “Tuanku tak lama lagi akan ulang tahun, pasti ia akan datang kesini. Tulislah beberapa kata, nanti akan kusampaikan padanya.”
Teratai emas mentitahkan pada Ying’rl, agar membawakan teh dan sepiring lumpia untuk Tai A’rl. Kemudian ia masuk ke kamar, menulis sebuah syair untuk Hsimen yang diberi judul “Kabar Bunga”. Ia melipatnya berbentuk segi empat, diberikan segel dan diberikan kepada pelayan ciliknya Hsimen.
Beberapa hari selanjutnya dihabiskan dalam penungguan, tapi tidak ada reaksi dari suratnya, bagaikan melempar batu ke laut. Bulan ke tujuh hampir berlalu, ulang tahun sang kekasih semakin mendekat.
Semakin dekat, waktu terasa semakin panjang, satu hari terasa tiga kali musim rontok, satu malam terasa setengah musim panas. Tak ada kabar, tak ada berita! Kekecewaan membuatnya kadang2 mengertak gigi dan berlinang air mata.
Pada malam hari ulang tahun Hsimen, ia memenggil tetangganya ibu Wang, menjamu makan minum dan memberikan sebuah perhiasan rambut perak berkepala emas dari rambutnya. Karena ia tahu benar, tanpa bayaran, si nenek tak akan membantu. “Tolong ajak dia kesini” pintanya.
Ternyata penungguannya kali ini tidak sia2. Dari jauh terdengar sudah suara ibu Wang :
“Sekarang kau dapat mengucapkan selamat padanya dan berterimakasih padaku, nonya muda!”katanya sambil memasuki kamar.
“Tidak sampai satu jam aku sudah berhasil membawanya kesini”
Belum sempat nyonya Teratai emas menenangkan diri dari kejutan, tampak Hsimen memasuki kamar sambil mengoyang goyang kipas, kelihatan nya masih agak mabuk.
“Satu kehormatan yang sangat besar!” sambut Teratai emas dengan sinis.
“Kau telah menyingkirkanku, bayanganpun tak pernah terlihat! Tentu saja. bila kau dengan yang baru nempel seperti lem dengan cat, tak ada sisa waktu untuk budakmu ini”
Untung ibu Wang akhirnya ikut campur untuk melerai, menghindari percekcokan yang lebih parah. Kemudian Ying’rl masuk membawa nampan teh.
Atas perintah nyonya nya ia meletakan nampan lalu menghadap Hsimen untuk melakukan kowtow (memberi hormat sambil bertekuk lutut beberapa kali). Nenek Wang berpendapat, adalah waktu yang tepat baginya untuk menyingkir ke dapur).
Selama Ying’rl menempati makanan ke atas meja, Teratai emas mengeluarkan hadiah ulang tahun untuk kekasihnya dari sebuah peti besar. Hsimen merasa terharu, memeluk dengan kedua belah tangannya dan menciumnya. Sehari semalam ia tak pernah bergeser dari sisi Teratai emas.
Adalah sebuah pengalaman lama, bahwa kebahagian yang berlebihan biasanya berganti kesedihan. Ketika itu hari masih pagi, waktu untuk sarapan, kedua pasangan kasmaran belum bangun, di depan rumah sudah menunggu seorang kurir berkuda. Ia adalah utusan Wusung,
Wusung sudah menyelesaikan tugas nya di ibukota. Dalam perjalanan pulang ia mengutus seorang serdadu pengantar surat pada Wuta untuk memberitahukan kedatangannya. Ibu Wang menerima surat tersebut dari kurir dan memasuki rumah Teratai emas.
“Bangun!, bangun!” teriaknya, tadi ada kurir dari Wusung, ia membawa surat untuk Wuta. Tidak boleh kehilangan waktu, harus secepatnya membuat keputusan!”
Mendengar itu Hsimen merasa seolah olah kepala nya dibelah belapan, bagaikan dipendam dalam drum berisi salju. Dalam sekejap ia dan Teratai emas bangun dan cepat2 berpakaian.
Kemudian mereka mempelajari isi surat Wusung di ruang tamu. Disitu tertulis, bahwa Wusung paling telat pertengahan musim rontok sudah tiba. Keduanya gemetaran sampai ke kaki dan tangan saking ketakutan, dan buru2 meminta nasihat dari si tua Wang.
“Urusan nya sangat mudah” kata ibu Wang menenangkan.
100 hari berkabung Wuta hampir berlalu, Teratai emas tinggal memanggil pendeta untuk mengadakan upacara pembakaran papan pemujaan, dan secepatnya sebelum Wusung tiba, dengan tandu memasuki rumah Hsimen sebagai istri.”
“Luar biasa!, akan kita kerjakan begitu!” kata Hsimen membenarkan. Kemudian keduanya dengan tenang menikmati sarapan.
Hari ke enam bulan kedelapan, hari terakhir 100 hari perkabungan Wuta telah tiba. Dengan beberapa ons pecahan perak, Hsimen hadir menemani Teratai emas. Enam orang pendeta tiba untuk membacakan doa dan membakar papan pemujaan.
Kepala pendeta sudah datang sejak dini hari pada kentongan ke lima, membawa satu pikul buku2 doa, menyiapkan keperluan upacara dan menggantungkan sebuah gambar Budha. Kemudian ia bersama ibu Wang di dapur menyiapkan makanan sembahyang. Dari semua kesibukan itu, Hsimen memilih menemani Teratai emas di ranjang.
Menjelang tengah hari, upacara yang terus berlanjut meminta Teratai emas sebagai orang yang paling berkepentingan untuk memasang dupa upacara dan menanda tangani kertas doa. setelah selesai ia kembali ke kamar tidur untuk menemani Hsimen di ranjang.
Kebetulan seorang pendeta berada di WC, disebelah kamar tidur si janda muda, yang hanya dipisahkan oleh dinding kayu tipis. Ketika si pendeta hendak mencuci tangan ke sebuah tong air yang letaknya tepat dibawah jendela kamar, ia mendengar suara orang bercinta, lengkap dengan dialog, erangan, dan rintihan.
Si pendeta yang kemudian berkumpul lagi dengan teman2 nya, menceritakan semua yang ia dengar dibawah jendela tadi. Pada saat mereka siap2 untuk pulang, Hsimen memberikan upah mereka.
Bersambung ke Bab 11
Karya : Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh : Aldi Surjana