Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Bab ke 11 :
Hsimen dan Teratai emas menikah secara diam2
Wusung salah tangan membunuh agen Li
Pada hari lainnya, Teratai emas mengundang ibu Wang untuk makan perpisahan, dan sekalian menitipkan si gadis kecil Ying’rl dibawah pengawasan dan perawatannya.
Sedikit kawatir Hsimen bertanya:
“Seandainya kutahu, apa yang harus kulakukan agar supaya Wusung tidak akan mendapat tahu mengenai perkawinan ini?”
“Biarlah, nanti aku akan mengurusnya, tuan besar!” jawab si nenek tua menenangkan.
Dengan senang hati Hsimen menghadiahkan tiga ons uang perak pada ibu Wang.
Pada malam itu, Hsimen memerintahkan, untuk memasukan semua milik Teratai emas, yang diperolehnya setelah berkenalan dengan nya, kedalam peti dan koffer. Beberapa barang bekas, seperti meja rusak, bangku dan pakaian yang sudah tidak dipakai lagi, diberikan kepada nenek Wang.
Pada keesokan harinya, hari ke 8 bulan ke 8, ia memboyong si kekasih yang berpakaian serbah mewah, dengan sebuah tandu. Ibu Wang mengawal iring2-an tersebut bersama si pelayan Tai A’rl dan empat orang pemegang lentera.
Tentu saja iring2-an itu menjadi perhatian orang2 disekelilingnya, mereka sudah paham kejadian2 apa saja yang terjadi dirumah itu, tapi karena takut dengan kekuasaan uang Hsimen mereka tak berani mengatakan apa2. Tapi ada satu puisi ejekan beredar, yang isinya mengejek kelakuan Hsimen, Teratai emas dan ibu Wang.
Sebuah pavilyun indah, 3 lantai, yang tersembunyi di pojok taman pekarangan tanah milik Hsimen, dirapihkan untuk tempat tinggal Teratai emas. Dikelilingi taman yang indah, serta dihiasi pot2 tanaman. Sebuah tempat nyaman yang tersembunyi, sehingga sepanjang hari tak ada orang yang menginjakan kakinya kesana.
Hsimen sangat memperhatikan perlengkapan kamar tidur, yang telah menghabiskan uang sebanyak 60 ons uang perak. Untuk itu ia memperoleh Sebuah ranjang hitam besar yang dipenuhi lukisan emas dengan kelambu sutera merah yang bermotifkan gelang2 emas, sebuah meja rias bermotifkan Bunga dari batu permata dan gading gajah, serta beberapa kursi empuk terbungkus sutera warna warni.
Nyonya bulan, istri utamanya, memiliki dua orang dayang bernama “Bunga plum” dan “seruling jade” untuk melayani kebutuhan pribadinya. Hsimen mengatur agar “Bunga plum” untuk selanjutnya hanya melayani Teratai emas dan harus tinggal di pavilyunnya. Ia harus menyapa Teratai emas dengan sebutan Nyonya.
Selain itu, Hsimen membeli juga seorang pelayan dapur untuk Teratai emas bernama “Bunga aster” seharga enam ons uang perak dan untuk nyona bulan seorang dayang pengganti bernama “Permata” seharga lima ons uang perak.
Teratai emas mendapat kedudukan sebagai istri kelima. karena seperti sudah diceritakan sebelumnya, istri2nya sudah bertambah dengan istri ketiga dan istri keempat.
Pada hari kepindahannya kerumah Hsimen, Teratai emas menghadap ke kamar nyonya bulan, untuk memperkenalkan diri pada seluruh penghuni rumah. Nyonya bulan memperhatikan dari tempat kehormatan.
Kemudian Teratai emas menyembah nyonya bulan, melakukan empat kali kotau (memberi hormat sambil menekuk kedua lutut), dan menyerahkan sepasang sepatu pantofel.
Kemudian ia menyalami istri2 Hsimen lainnya, seperti umumnya adik dan kakak sesuai urutan kedudukan, Li Kao’rl, Mong Yuloh dan Sun Hsueo. Setelah itu dengan tahu diri, ia menempatkan dirinya disamping.
Nyonya bulan memerintahkan agar Teratai emas dibawakan kursi, dan memberitahukan semua dayang dan pelayan agar selanjutnya menghormati Teratai emas sebagai “nyonya kelima”.
Sejak kedatangan Teratai emas, Hsimen jadi betah dirumah, jarang sekali ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah yang dipojok taman, dan setiap hari menikmati cinta dengan Teratai emas.
Pada hari ke 10 bulan ke 8, Wusung tiba kembali di Tsinghohsian. Paling pertama ia menghadap Mandarin kepala daerah, dan menyerahkan surat balasan dari Komandan istana Tschu.
Untuk memperlihatkan pengakuannya, bahwa Wusung telah melakukan pekerjaan nya dengan baik, maka sang Mandarin menjamu makan dirumahnya dan menghadiahkan uang perak sebanyak 10 ons. Setelah itu ia kembali ke tempat tinggalnya, berganti pakaian, dan cepat pergi mencari Kakaknya Wuta.
Berita kembalinya Wusung telah membuat cemas dan takut pada para tetangga Wuta.
“Oh, pasti akan ada bencana keluarga. Bintang kemalangan telah memperlihatkan diri. Tidak akan dapat dicegah lagi”, begitulah pembicaraan dari mulut ke mulut.
Setibanya dirumah kakaknya, ia menyingkap Tirai pintu dan berteriak memanggil “Hei, Kakak!” Tak ada yang menjawab. “Ipar!” masih tak ada jawaban.
Kemudian ia melihat Ying’rl duduk di Beranda sambil menjahit. Ia memanggilnya. Tapi kedatangan Wusung yang tiba2 telah membuat Ying’rl kaget dan kehilangan kata2. Setelah Wusung menanyakan , dimana kakak dan iparnya, Ying’rl menangis.
Sementara itu, ibu Wang yang telah mendengar kedatangan Wusung, berusaha menghilangkan rasa takutnya dan memasuki rumah Wuta.
“Dimanakah kakak ku, dan mengapa iparku menghilang?” tanya Wusung pada si nenek.
“Kakak mu telah meninggal di bulan ke 4, tak lama setelah kau berangkat.”
“
Dan dimanakah iparku?”
“Karena tidak ada yang membiayai rumah tangga lagi, atas nasihat ibunya, ia menikah kembali setelah 100 hari berkabung, dengan seorang tuan dari ibukota. Selama ini, aku menunggu kedatanganmu untuk menyerahkan Ying’rl”
Wusung menarik napas dalam2 dan mendengus. Kemudian ia meninggalkan si nenek yang masih tetap berdiri, dan kembali ke tempat tinggalnya.
Setibanya dirumah, Wusung memerintahkan beberapa serdadunya untuk membeli pakaian dan perlengkapan berkabung. Semua barang itu dikirim ke rumah kakaknya.
Disitu ia pun memasang meja abu pemujaan baru, meletakan beberapa macam makanan kurban untuk sembahyang dan beberapa cawan arak bagus. lalu ia menyalahkan dupa. Pada malam harinya sekitar pukul sepuluh, di depan meja abu, ia memanggil roh kakaknya dengan sebatang hio (dupa lilin) diantara jari2nya :
“Kakak, roh mu pasti belum pergi jauh. Dalam kehidupan mu, engkau adalah seorang yang baik hati dan lemah. Aku masih belum jelas, bagaimana kau mendapat kematian. Bila ada yang telah menyakitimu, katakanlah padaku didalam mimpi, agar supaya aku bisa membalas dendam!”
Lalu ia menyipratkan arak untuk menghormati kakaknya, dan membakar kurban figur kertas. kemudian ia berkabung dengan menangis sambil teriak2. Semua tetangga2 yang mendengar, ikut berduka dan bergabung satu chor dengan Wusung.
Ketika perkabungan selesai, Wusung bersama Ying’rl dan beberapa orangnya memakan makanan kurban dan minuman. Menjelang larut malam, ia mengeluarkan dua helai tikar, satu di dalam rumah untuk Ying’rl dan satu untuk penjaga malam diluar dibawah langit terbuka. Ia sendiri memilih untuk tidur di depan meja abu.
Sampai tengah malam ia tidak bisa pulas, tidak tenang, berbalik dari satu sisi ke sisi lain. Lain hal nya dengan para penjaga malam, mereka sudah lama lelap didalam tidur. Ia memandang keatas dan menengok kiri kanan, lalu duduk diatas tikar, dan mulai berbicara sendiri :
“Dalam kehidupan nya ia adalah seorang yang lemah dan selalu mengikuti kemauan orang, aku menduga, ada yang tidak benar dalam kematiannya…”
Tiba2 ia merasakan angin dingin keluar dari bawah meja abu. Rambut Wusung berdiri kaku kearah depan, ketika se-olah2 ada yang menghembuskan napas sedingin es kepadanya. Dari bawah meja abu, ia melihat samar2 sebuah bentuk tubuh manusia, merayap keluar dan terdengar suara yang berbicara kepadanya : “Adikku, Aku telah dianiaya”
Wusung maju ke depan untuk memperhatikan lebih jelas dan mengajukan pertanyaan, lalu ia menghilang, begitu juga dengan hawa dingin turut lenyap. Wusung kembali ketikar dan mengumpulkan semua pikirannya.
“Aneh! Bagaikan mimpi, tapi bukan mimpi. Pasti ada sesuatu yang tidak benar!” Diluar terdengar suara kentongan dipukul tiga kali.
Keesokan paginya Wusung bertanya kepada para tetangga mengenai sebab musabab kematian kakak nya dan siapa yang menikahi iparnya, tapi karena takut pada kekuasaan uang Hsimen, tak ada satupun yang memberi tahu, mereka hanya mengatakan agar Wusung menemui si penjual buah Yun dan si Pemeriksa mayat Hokiu.
Setelah diberikan uang perak sebanyak lima ons dan dijanjikan lima ons uang perak lagi setelah urusan selesai, Yun si penjual buah pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya di Kedai teh dan bersedia bersaksi di pengadilan.
Wusung kemudian menyampaikan surat dakwaan ke pengadilan, dimana ia menyalahkan pemeriksa mayat Hokiu yang telah makan uang sogok dan membuat laporan kematian yang salah, si nenek Wang yang telah mencomblangi dan menghasut pembunuhan, dan Hsimen yang telah melakukan perzinahan dan pembunuhan.
Ia juga menyertai dakwaan tersebut dengan Yun sebagai saksi.
Karena hubungan nya yang erat dengan Hsimen, si Mandarin pengadilan merasa tidak enak hati. Setelah rapat dengan staf nya, ia memutuskan, bahwa dakwaan ini tidak bisa ditindak lanjut, karena untuk urusan perzinahan si istri tidak ada, dan untuk urusan pembunuhan tidak ada mayat.
Wusung tidak menyerah begitu saja, ia mengusulkan agar nyonya Teratai emas dan si nenek Wang ditangkap untuk dibawa ke pengadilan.
“Baiklah, kasus nya masih akan dipelajari!” jawab si Mandarin dan menutup sidang.
Hsimen yang telah mendengar apa yang sudah dilakukan Wusung menjadi sangat kaget, cepat2 ia mengirim kedua pelayan nya Laipo dan Laiwang dengan sejumlah besar uang , dan pada malam yang sama si Mandarin pengadilan pun sudah dibeli.
Ketika Wusung pada keesokan harinya dengan penuh kepercayan menghadap di Yamen, ternyata surat dakwaan nya dikembalikan oleh Mandarin pengadilan dengan keterangan ‘urusan tidak jelas’.
Setelah keluar ruang sidang, Wusung yang hatinya sangat geram, langsung menuju ke Rumah obat milik Hsimen, ia akan menangkap dan menghukum Hsimen dengan tangannya sendiri. Di ruang kasir, ia melihat Pengurus Fu, ia langsung menyerbu masuk dan dengan kasar bertanya :
“Mana tuan besarmu? Dan sejak kapan ia membawa iparku kerumahnya?”
“Tuan komandan, tolong jangan langsung galak, aku cuma seorang pegawai dengan gaji dua ons uang perak sebulan. Mana aku tahu apa yang terjadi di belakang tirai kamar tidurnya, Aku hanya tahu satu hal, yaitu tuan Hsimen sedang bepergian dengan kenalan nya ke Kedai arak yang di jalan Singa.”
Wusung melonggarkan cekalan dan membebaskannya. Dengan langkah lebar ia menuju ke jalan Singa. Di lantai atas Kedai arak yang dimaksud, Hsimen sedang duduk bersama dengan seorang pegawai sekretariat pengadilan Yamen, yang biasa disebut sebagai “Agen Li”, seorang penjual ‘berita tukar uang’.
Ia menemui Hsimen untuk menjual berita tentang penolakan dakwaan Wusung. Hsimen menghadiakannya lima ons uang perak dan makan minum sepuasnya di Kedai arak.
Sedang enak2 nya minum, tampa sengaja lEwat jendela Hsimen melihat Wusung memasuki Kedai, jelas sekali expresi wajah nya yang penuh dendam. Tahu urusan tidak menguntungkan, cepat2 ia menyembunyikan diri di ruang belakang lantai atas.
Sementara itu Wusung sudah masuk.
“Apakah Hsimen ada disini?” tanya nya pada Pengurus Kedai.
“Ia duduk diatas bersama seorang kenalannya”
Setibanya diatas, ia melihat Agen Li yang ia kenali dari pengadilan Yamen. Pasti ia membawa berita atas penolakan dakwaan nya. Kemarahan nya naik ke ubun2, ia langsung mendekati sambil membentak :
“Hei, Kau! Dimana kau sembunyikan Hsimen, cepat katakan, atau kau akan berkenalan dengan kepalanku!”
Saking ketakutan, Li diam tak dapat bicara. Tentu saja hal itu membuat Wusung tambah marah. Wusung menendang meja hingga terbalik, diiringi suara riu rendah pecahnya piring, mangkuk. Li mencoba untuk kabur, tapi terlampat, Wusung sudah keburu mengcengkramnya.
“Kemana?, Kalau kau tak mau bicara, biarkan kepalan ku yang bicara!”
Wusung langsung memukul muka Li, yang meraung raung kesakitan.
“Tuan Hsimen baru saja keluar!”
Tapi Wusung tak dapat menahan rasa marah lagi, sekali dorong jendela terbuka, dan pada detik lainnya, tubuh Li sudah di diluar jendela dalam cengkraman tangan Wusung yang kuat.
“Kau ingin kabur, silahkan!”
Terdengar suara tumpul tubuh jatuh ke atas jalanan. Wusung segera menerjang ke belakang Kedai untuk mencari Hsimen.
Dari tempat persembunyiannya Hsimen sempat mendengar suara ribut2 didalam Kedai, dengan sekali loncat ia menyeberang ke rumah sebelah. Karena yakin Wusung tak dapat menemui nya berkat tipuan agen Li, maka cepat2 ia menuruni tangga, keluar ke jalan.
Disitu ia melihat Li dalam keadaan setengah mati, hanya matanya yang masih bergerak gerak. Dalam kemarahan yang sudah tak dapat dibendung lagi, Wusung menghadiahkan dua kali tendangan lagi pada Li, berbarengan dengan hembusan napas nya yang terakhir, nyawa nya pun melayang.
Tentu saja, jalan Singa menjadi panik, dan di seluruh penjuru kota kejadian tersebut menjadi bahan pembicaraan. Dan seperti biasa dalam hal seperti itu, beritanya pun dilebih lebihkan, bahwa yang dihajar mampus oleh Wusung adalah Hsimen.
Bersambung ke Bab 12
Karya : Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh : Aldi Surjana