Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Hari berganti bulan, dengan berakhirnya bulan ke 12, lambat laun datanglah waktu bunga plum. Pada suatu pagi yang menyenangkan, Teratai emas sudah rapih berpakaian, ia hanya tinggal menunggu suaminya berangkat, untuk mengambil tempat biasa, di teras di depan pintu.
Adalah suatu pengalaman lama, pertemuan dua insan biasanya disebabkan oleh hal2 kebetulan yang sepele. Singkatnya, ketika si nyonya muda memasukan tongkat penganjal kebawah tirai bambu didepan pintu, tiba2 angin bertiup keras mendorong tangannya, sehingga tongkat terlepas menimpah kepala seseorang yang sedang lewat.
Kaget dan berbarengan ingin tahu, Teratai emas memperhatikan si orang asing: Seorang lelaki pesolek, umur sekitar 35 tahun, penampilan gagah, mengenakan jubah sutra tipis berwarna hijau, di tangan nya memegang sebuah kipas Setchuan keemasan. Secara keseluruhan seorang Kavalier yang banyak didambakan wanita.
Ketika kepalanya tertimpah tongkat, ia tersentak kaget dan agak kesal, tapi begitu ia memandang kearah Teratai emas yang cantik jelita, langsung rasa marah nya menguap, wajah nya melunak dan membentuk sebuah senyuman.
Si nyonya muda yang tahu akan kesalahan nya, menyalaminya sambil menjura : “Angin yang menyebabkan terlepas dari tanganku, sehingga tampa sengaja mengenai tuan, mohon dimaafkan!”
Yang diajak bicara, setelah membenarkan letak topinya, lalu membungkukan badan, begitu dalam hampir menyentuh tanah, dan berkata : “Tidak apa, nyonya tak perlu kawatir”
Ibu Wang, pemilik Kedai teh di samping, yang telah memperhatikan kejadian tadi, sekarang ikut campur, mendekati sambil senyum:
“Tuan besar tertimpah tongkat!”
“Salahku sendiri” sesal si orang asing dengan sopan. “Mudah2-an si nyonya muda mau memaafkanku”
“Tuan tidak perlu meminta maaf” jawab Teratai emas.
“Oh, baiklah, baiklah” dengan suaranya yang enak didengar, sambil mata malingnya jelalatan.
Juga Teratai emas menyukai penampilan si orang asing yang mempunyai cara bicara berpendidikan dan telah meninggalkan kesan baik.
“Kenapa sambil berlalu ia menengokan kepala kearah ku 7 atau 8 kali, bila ia juga tak merasakan apa yang kurasa. Seandainya aku tahu nama dan alamat nya!. kata Teratai emas dalam hati sambil menutup pintu.
Siapakah orang asing itu?, tak lain tak bukan, ia adalah kepala dari 10 bergajulan, pemilik toko obat, tuan Hsimen! Dalam keadaan muram setelah kematian istri ketiganya karena penyakit, hari ini ia keluar untuk menenangkan hatinya.
Ia mencari temannya Ying Pokue. Dan ditengah perjalanan ia mengalami suatu peristiwa tak terduga dibawah pintu rumah seseorang. setelah itu ia memutuskan untuk pulang kerumah, dan tidak jadi menemui temannya Ying.
Dirumah, ia melamun. Tiba2 terpikir sebuah ide: Ibu Wang, si pemilik Kedai teh yang disamping rumah itu bisa membantuku dalam mewujutkan keinginanku, Tampa makan siang ia langsung pergi menuju kedai teh Ibu Wang, dan duduk dengan enak diatas sebuah bangku di teras rumah ibu Wang.
“Ai Tuan Besar tadi bicara gelagapan dan sedikit nervous!” canda Ibu Wang, sambil tersenyum nakal.
“Ibu angkat, hayo sini, aku mau tanya, istri siapakah burung cantik dirumah sebelah itu?
“Ai, ia adalah adik raja neraka”, kok ingin tahu?
“Sudahlah, jangan bercanda, bicara yang serius!”
“Masa tidak tahu sih? Suaminya itu yang pedagang keliling di kota Yamen”
“Ah, maksudmu tentu si penjual kue kurma Yusan?”
“Bukan, hayo tebak lagi”
“Pasti maksudmu si tukang sup Lisan?”
“Bukan juga, terus tebak lagi”
“Ibu angkat, aku menyerah”
“Haha, akan kukatakan. Suaminya adalah si pedagang bakpau (roti isi) Wuta”
“Apa! si kerdil?
“Iya, dia!”
Hsimen tidak dapat menahan tawa. Tapi kemudian dengan suara pahit dia berkata :
“Sungguh patut disesalkan, bagaimana bisa sepotong daging kambing panggang masuk ke mulut kotor seekor anjing!”
“Ya, begitulah” gerutu si nenek tua. “lelaki menyebalkan (bodoh dan jelek) menunggang kuda terbaik dan tidur dengan wanita tercantik. Dewi bulan mungkin menyukai pasangan yang tidak seimbang”
“Ibu angkat, berapa mesti kubayar untuk minuman?”
“Tidak seberapa. Tinggallah sebentar lagi, itu nanti kita hitung belakangan”
“Ngomong2, anak lelaki mu Tschao sekarang kerja dimana?”
“Seandainya ku tahu. Ia dulu ikut pedagang dari Anhui. Sejak itu tak ada kabar berita nya lagi, Aku tidak tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati”
“Seorang pemuda rajin yang cerdik. Harusnya dulu ia kerja padaku saja”
“Oh, bila tuan besar menginginkan, tentu ia akan sangat senang”
Ia berdiri dan permisi pulang. Belum ada dua jam berlalu, Hsimen sudah datang lagi ke Kedai teh, duduk melamun di teras sambil mata nya memandang ke arah rumah sebelah,
“Bagaimana dengan sup buah plum, apakah kau suka?” tanya nyonya Kedai.
“Ya, suka sekali, tapi cuka nya agak banyakan yah”
Tak lama kemudian, ia menyajikan semangkuk sup buah plum.
“Ibu angkat, kau pandai sekali membuat sup buah plum, apakah kau masih punya stok?”
“Aku memang sudah biasa jadi comblang perkawinan”
“Siapa yang bicara soal comblang, aku kan cuma memuji sup buah plum mu”
“Aku mendengar dengan jelas, bagaimana kau mengatakan, bahwa aku sangat paham dengan percomblangan perkawinan”
“Baiklah, Maukah engkau menjadi comblang untukku? Bila kau mengerjakannya dengan baik, tersedia hadiah besar dariku”
“Tuan besar bercanda nih. Nanti bila Istri utamamu tahu, habis kupingku dijewer”
“Jagan kawatir! Istri kesatuku itu orang baik dan penuh pengertian. Yang jadi masalah ialah, Bahwa dari sekian banyak gundik yang kumiliki dirumah, tak ada satupun yang memuaskan, Apakah engkau ada yang cocok untukku? tolong kasih tahu padaku, janda juga boleh…
“Sebenarnya belum lama ini aku punya stok, tapi tahu yah…”
“Bicaralah yang jelas. Aku sangat tertarik”
“Begini. Penampilan luar, ia lebih dari sempurna. Hanya saja umurnya tidak muda lagi”
“Kecantikan yang sudah matang!. Berapa umurnya? Beberapa tahun lebih tua kan tidak apa2”
“Ia sekarang di tahun ke enam puluh di siklus ke enam puluh, shio (Tahun horoskop) babi, tahun depan umurnya genap sembilan puluh tiga tahun”
“Dasar!” meledak tawa Hsimen. “Lelucon bodoh”
“Perjanjian ini harus kita rayakan”, kata si nenek Kedai pada tamunya.
“Hayo, minum, minum!”
Menjelang malam, Hsimen meninggalkan pos pengawasannya dan pulang ke rumah,
Di rumah, Hsimen tidak enak makan dan tidak enak tidur. Pikirannya melayang, melamuni si cantik tak dikenal. Nyonya bulan, istri utama nya, mengira hal tersebut disebabkan oleh kematian istri ketiganya.
Keesokan pagi, belum juga Kedai dibuka, Ibu Wang sudah melihat Hsimen, tidak jauh dari rumahnya, terlihat Hsimen mondar mandir di sebuah jalan. “Ia sudah tak tahan. Ia sedang menjilati madu yang ku poles di hidungnya. sudah waktu nya ia mengeluarkan uang gembira”
Setelah berjalan kesana kesini, akhirnya Hsimen memasuki Kedai teh.
“Ah Tuan besar! Sungguh menyenangkan” Sudah lama tidak mampir!” katanya ironis.
Hsimen mengeluarkan sebuah uang perak dari kantong dan memberikan pada nya.
“Ini, ibu angkat, pembayaran dimuka untuk makan minumku”
Ia menyimpan uang tersebut dan berkata:
“Sepertinya engkau ada sesuatu dalam hati”
“Loh kok tahu?”
“itu kan urusan gampang”
“Bila kau benar tahu apa yang ada dalam hatiku, aku akan memberi mu uang perak sebanyak 5 ons.”
“Itu sih tidak usah main tebak2-an, akan kubisikan ke kupingmu: “Bahwa kau sejak kemarin dan hari ini bolak balik kesini, pasti disebabkan oleh seseorang di sebelah, iyah kan?”
“Tepat sekali. Aku mesti mengakui, sejak aku melihatnya di depan pintu rumahnya, roh ku sudah terbang, siang malam aku tak bisa tenang. Tidak enak makan da tidak enak tidur. tubuhku seperti lumpuh. Apakah kau punya ide untuk mengeluarkan ku dari suasana itu?”
“Aku akan bicara terbuka padamu. Penghasilanku dari kedai teh ini sangat sedikit, jadi aku harus mencari penghasilan sampingan. Sejak umur 36 tahun aku hidup tampa suami, dari mana aku dan anakku bisa hidup?”
“Bila kau berhasil, mempertemukanku dengan si burung cantik, akan kuberikan kau upah sebanyak 10 Ons uang perak. Jadi kau punya modal tambahan untuk usahamu”
“Ha! kau ketipu, aku kan cuma bergurau”
Bersambung ke bab 6
Karya: Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh: Aldi Surjana
Catatan : 1 ons = 28,35 gram perak