Last Updated on 19 August 2021 by Herman Tan Manado
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) merupakan sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah warga Indonesia. Akan tetapi, surat ini hanya diberikan kepada seseorang yang terlahir sebagai warga keturunan, khususnya keturunan Tionghoa.
Di era orde baru Soeharto, SBKRI ini merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi, untuk mempermudah masyarakat Tionghoa dalam mengurus berbagai keperluan dokumen, salah satunya adalah untuk mengurus KTP.
Selain itu, SBKRI juga digunakan untuk mengurus permohonan paspor, memasuki dunia pendidikan, pendaftaran pemilu, menikah, dan bahkan untuk mengurus keperluan meninggal dunia sekalipun. Namun, banyak yang menganggap bahwa penerapan SBKRI tersebut sebagai tindakan diskriminatif.
Di era reformasi, SBKRI sudah resmi dihapuskan. Meski begitu, masih ada saja oknum di Dirjen Imigrasi yang masih meminta SBKRI ini, meski orang Tionghoa tersebut sudah memiliki KTP elektronik.
Bahkan di tahun 2000-an, masih terdapat beberapa warga Tionghoa yang kerap dikerjai petugas imigrasi. Mereka kerap disuruh untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau menghapalkan Pancasila, bahkan ditanya persoalan2 cina. Kalau tidak, paspornya tidak akan dikeluarkan.
A. Sejarah SBKRI
Dasar hukum penerapan kebijakan SBKRI adalah UU. No 62 tahun 1958 mengenai Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang pada waktu itu dikeluarkan dan diresmikan oleh Menteri Kehakiman G.A Maengkom, yang sudah mendapatkan tanda tangan Presiden Soekarno.
Salah satu alasan mengapa pemerintah menerapkan SBKRI adalah berdasarkan klaim dari presiden Tiongkok kala itu, Mao Zedong, yang pernah mengatakan bahwa jika seluruh keturunan Tionghoa yang ada di dunia, termasuk yang ada di Indonesia, masih merupakan Warna Negara Tiongkok juga.
Hal ini didasarkan asas keturunan darah, atau ius sanguinis. Kemudian, kebijakan tersebut ditindaklanjuti melalui sebuah perjanjian Dwi Kewarganegaraan, antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, yang dilakukan di Bejing, 3 Juni 1955, antara PM Zhou Enlai (周恩来) dan PM Ali Sastroamidjojo pada tahun 1955.
Link : UU No.2 tahun 1958
Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Indonesia dan Tiongkok ini tertulis dalam UU No. 2 tahun 1958 (tertanggal 11 Januari 1958), dan mulai diterapkan dengan dikeluarkannya PP No. 20 tahun 1959.
Perjanjian ini memungkinkan masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk memiliki 2 Kewarganegaraan (Indonesia dan Tiongkok) selama 2 tahun, dimulai pada 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962.
Link download : PP No.20 tahun 1959
Dalam rentang tahun tersebut, masyarakat Tionghoa di Indonesia bebas untuk keluar masuk wilayah 2 Negara tersebut, dan berhak untuk menjalankan usaha/bisnisnya. Diharapkan agar semua permasalahan mengenai Dwi Kewarganegaraan sudah selesai, ketika waktu penetapan berakhir.
7 tahun berselang, perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut secara resmi TIDAK BERLAKU lagi, terhitung sejak 10 April 1969, dengan dikeluarkannya UU No 4 tahun 1969.
Isi undang-undang tersebut kurang lebih mengenai permasalahan status WNI Tionghoa dianggap sudah selesai, dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 dianggap SUDAH WNI;
yang mana setelah dewasa nanti, TIDAK DIPERBOLEHKAN lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan Indonesia, dan TIDAK PERLU lagi membuktikan kewarganegaraan nya dengan SBKRI.
Link Download : UU No.4 tahun 1969
Di dalam Bab II pasal 12 PP No.20 tahun 1959, juga dijelaskan bahwa terdapat beberapa “pengecualian” untuk warga Tionghoa yang dianggap sudah masuk WNI tunggal. Mereka adalah orang-orang yang berstatus veteran tentara, tentara aktif, pegawai pemerintah, atau bagi mereka yang pernah membela nama Negara Indonesia di pentas internasional.
Akan tetapi, peraturan yang tercantum di pasal 12 tersebut ternyata tidak dilaksanakan, dan perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut diterapkan juga pada mereka (mereka dianggap belum sepenuhnya menerima/menjadi WNI).
B. Kronologi SBKRI
Keberhasilan Susi Susanti yang mempersembahkan medali emas Olimpiade (Barcelona) pertama kali untuk bangsa Indonesia (1992), dan mendapatkan tanda kehormatan Bintang Jasa Utama (oleh Presiden Soeharto) pada tahun 1992, ternyata TIDAK BERBANDING LURUS dengan kehidupan pribadinya.
Ketika tahun 1997, Susi Susanti memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya, Alan Budikusuma, Nasionalisme dan status ke-warganegaraan keduanya DIPERTANYAKAN, melalui (kepemilikan) Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
2 keping medali Emas sudah dipersembahkan pasangan ini lewat suar lelah dan kerja keras. Apalagi yang masih kurang? Apa hanya gara-gara mereka memiliki NAMA CINA dan BERMATA SIPIT?
1. Masa orde lama (Ir. Soekarno)
♦ Tahun 1946 : Indonesia di tahun 1946 menganut asas ius soli, yang artinya siapa saja yang lahir di wilayah Indonesia, merupakan WNI. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa yang telah ada di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 dianggap sebagai WNI.
♦ Tahun 1949 : Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan kewarganegaraannya ke jaman kolonial, apabila ingin mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di Indonesia kembali diharuskan memilih apakah ingin jadi WNI atau tidak.
♦ Tahun 1955 : Perjanjian awal Dwi Kewarganegaraan antara Tiongkok dan Indonesia ditandatangani. Karena ada klaim dari Presiden Mao Zedong bahwa RRT menganut asas ius sanguinis (asas keturunan darah), yang artinya siapa saja yang lahir dengan membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa), maka secara otomatis dia akan menjadi warga negara Tiongkok.
Hal ini sebenarnya merupakan alasan politik, untuk menggalang dukungan di kalangan Tionghoa perantauan, seperti yang dilakukan oleh Taiwan (ketika itu sudah pecah dengan Tiongkok daratan). Di KAA Bandung 1955, PM Zhou Enlai menyatakan bahwa sebagian besar keturunan Tionghoa di Indonesia masih memberikan kesetiaannya pada negara leluhurnya.
♦ Tahun 1958 : Perjanjian dituangkan dalam UU No.2 tahun 1958, yang menegaskan bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali diperbolehkan memilih salah satu kewarganegaraan, Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu pemilihan dimulai pada 20 Januari 1960, hingga 20 Januari 1962 (ditegaskan pelaksanaannya pada PP No.20 tahun 1959).
Yang memilih menjadi Warga Negara Indonesia, harus menyatakan diri melepaskan kewarganegaraan Tiongkok nya di hadapan pengadilan.
Keadaan pada masa itu maskin diperburuk oleh tarik-menarik dukungan antara Beijing – Taipei – Jakarta atas status kewarganegaraan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibuat, karena masing2 pihak ingin memperjelas garis “kesetiaan” masyarakat Tionghoa itu sendiri.
Indonesia sendiri pada dasarnya menginginkan agar jangan banyak orang asing di Indonesia, sedangkan Tiongkok ingin memperjelas status kesetiaan orang Tionghoa, terhadap negara leluhurnya.
Saat Orde Baru berkuasa, perjanjian Dwi-Kewarganegaraan tidak lagi dipakai. Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok benar-benar jatuh hingga ke titik nadir. Hal ini makin menjadi-jadi ketika kecurigaan pemerintah Indonesia atas peranan Tiongkok, dalam Gerakan 30 September 1965.
Otomatis, orang yang masih memegang surat Dwi Kewarganegaraan tidak diakui sebagai WNI, dan menjadi stateless. Pada waktu itulah (1966 keatas) banyak masyarakat Tionghoa yang menjalani proses naturalisasi, meski dia sudah lahir dan lama tinggal di Indonesia. Orang2 inilah yang harus mempunyai SBKRI.
2. Masa Orde Baru (Soeharto)
♦ Tahun 1969 : Perjanjian Dwi Kewarganegaraan secara resmi dibatalkan. Warga Tionghoa yang masih memegang surat tersebut (dokumen Dwi Kewarganegaraan) dinyatakan sebagai stateless, atau tidak memiliki kewarganegaraan, akan ditangkap dan diusir dari wilayah Indonesia.
♦ Tahun 1978 : Muncul sebuah peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Kehakiman, yang mana mewajibkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) bagi etnis Tionghoa.
♦ Tahun 1983 : Berdasarkan keputusan dari Menteri Kehakiman, menegaskan bahwa SBKRI hanya berlaku bagi mereka yang telah mengambil surat Dwi Kewarganegaraan, dan kemudian menyatakan keinginannya untuk menjadi WNI.
Jika ada WNI (Tionghoa) beserta keturunannya yang sebelumnya sudah menjadi WNI sebelum 1962, atau untuk semua keturunan Tionghoa lahir di tahun setelah 1962, maka mereka tidak diharuskan memiliki SBKRI.
♦ Tahun 1992 : Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keturunan Tionghoa yang telah memegang SBKRI, hanya cukup menyertakan SBKRI milik orang tua mereka, sebagai bukti bahwa mereka sudah WNI.
♦ Tahun 1996 : SBKRI sudah TIDAK DIBERLAKUKAN lagi. Keputusan tersebut berdasarkan Kepres No.56 tahun 1996. Akan tetapi, banyak masyarakat yang tidak tahu karena masih kurangnya sosialisasi.
Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1992, yang menyatakan bahwa anak-anak dari pemegang SBKRI tidak perlu lagi memiliki SBKRI lagi, karena dengan SBKRI milik orang tua sudah cukup untuk membuktikan status WNI nya.
Namun pada praktek di lapangan, banyak juga yang masih membuat SBKRI sendiri, karena tekanan oknum petugas, ataupun atas kehendak sendiri, karena SBKRI milik orang tua sulit dipindah-tangankan di antara anak-anak, apalagi kalau anak-anaknya banyak.
3. Masa Orde Reformasi
♦ Tahun 1999 : Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan Instruksi Presiden No. ? tahun 1999.
C. Perkembangan Terakhir SBKRI Hingga pencabutannya.
Pada 8 Juli tahun 1996, Presiden Soeharto telah mengeluarkan Kepres No.56 tahun 1996, tentang Bukti Kewarganegaraan RI. Pada pasal 4 ayat 2 dijelaskan bahwa :
“Bagi Warga Negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran tersebut.”
Sementara di pasal 5 dijelaskan bahwa :
“Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dinyatakan tidak berlaku lagi.”
Akan tetapi, sebenarnya praktek mengenai SBKRI tersebut masih sebatas di pemerintahan karena kurangnya sosialisasi. Selain itu, lemahnya hukum yang ada di Indonesia juga menjadi sebab mengapa Kepres ini cenderung diabaikan, dan praktik diskriminasi masih terus dilakukan oleh oknum-oknum di kepegawaian.
Hingga tahun tahun 2003, masih dijumpai masyarakat Tionghoa yang mesti melampirkan dokumen SBKRI untuk mengurus keperluan paspor perjalanan. Tidak jarang petugas mengeluarkan kalimat yang menakut-nakuti, kalau tidak memiliki SBKRI.
Ini kalau bagi orang Tionghoa yang tidak melek hukum, pasti sudah terkencing-kentjing, dan buru-buru meminta bantuan oknum Tionghoa lain/calo, yang menawarkan jasa pembuatan SBKRI itu.
Disini dapat kita lihat bahwa ada juga oknum Tionghoa sendiri juga berusaha melanggengkan budaya SBKRI, karena kebetulan mereka adalah biro jasa pembuatan SBKRI sejak lama.