Pemerintah Tiongkok mengumumkan bahwa pasangan yang telah menikah diizinkan memiliki hingga 3 anak. Ini adalah sebuah perubahan kebijakan yang besar dari batas yang ditetapkan sebelumnya, yaitu 2 anak.
Ini dilakukan setelah data sensus penduduk terbaru menunjukkan penurunan drastis angka kelahiran di negara berpenduduk terpadat di dunia itu.
Perubahan itu disetujui selama pertemuan politbiro yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping, menurut laporan kantor berita resmi Xinhua.
“Untuk lebih mengoptimalkan kebijakan kelahiran, Tiongkok akan menerapkan kebijakan 1 pasangan bisa memiliki 3 anak,” demikian laporan media Xinhua.
Pada 2016, Tiongkok telah resmi membatalkan kebijakan 1 anak (One Child Policy; 一孩政策; Yi hai zhengce). yang selama puluhan tahun diberlakukan, untuk menghentikan ledakan populasi. Kala itu, Tiongkok hanya membolehkan setiap pasangan memliki 2 anak, jika :
(1) salah satu dari istri atau suami merupakan anak tunggal di keluarganya, (2) atau anak yang pertama adalah perempuan (diperlukan anak laki2 untuk melanjutkan marga), (3) atau mereka yang berdomisili/tinggal di wilayah perdesaan.
Sejak Tiongkok resmi berdiri (1949), perencanaan mengenai populasi penduduk sudah diatur sedemikian rupa dalam mendukung program pertumbuhan ekonomi yang ada di Negara tersebut. Di jaman Mao Zedong (1949-1976), kebijakan dan propaganda mendorong masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak.
Kata2nya yang paling populer waktu itu seperti “Dari semua benda di dunia, manusia adalah yang paling utama”, atau “Lebih banyak penduduk, bermakna lebih banyak tenaga kerja”. Akan tetapi, setelah terjadinya over populasi, pemerintah Tiongkok mulai gencar menerapkan “Kebijakan 1 Anak”
Sejak tahun 1979, Tiongkok menerapkan kebijakan 1 keluarga hanya boleh memiliki 1 anak. Hal ini merupakan upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang mulai meningkat di tahun 1950-an.
Dalam kurun waktu 4 dekade setelah implementasi, penerapan kebijakan One Child Policy tersebut dianggap berhasil. Pemerintah Tiongkok memperkirakan bahwa penerapan kebijakan tersebut telah mencegah ±400 juta kelahiran, antara tahun 1979 hingga 2010.
Namun kini angka kelahiran di Tiongkok terus menurun. Tingkat kelahiran relatif rendah, dan menunjukkan tren kecenderungan untuk terus menurun. Ketika kebijakan tersebut kini diperhadapkan kepada sebuah kondisi masyarakat yang mulai menua, dimana angkatan kerja yang tersedia mulai menyusut.
Baca juga : Tiongkok Cabut Aturan 1 Keluarga 1 Anak
Baca juga : Wow, Di Tiongkok, Perempuan yang Melahirkan Anak Ke-2 Malah Dibayar!
Sementara batasan 2 anak juga gagal mengatur angka kelahiran berkelanjutan, karena tingginya biaya membesarkan anak di kota2 metropolitan Tiongkok, sehingga menghalangi banyak pasangan untuk memiliki anak.
“Perubahan kebijakan muncul dengan langkah2 yang mendukung peningkatkan struktur populasi negara kita, dalam memenuhi strategi negara untuk secara aktif mengatasi populasi yang menua dan mempertahankan keuntungan (sumber daya manusia)” demikian menurut Xinhua.
Dengan menerapkan kebijakan yang baru, diharapkan dapat mencegah kekurangan tenaga kerja produktif (khususnya disektor buruh) di masa mendatang.
Karena jika terus berlanjut (tingkat kelahiran makin menurun), maka nasib Tiongkok ditakutkan akan sama dengan Jepang, dimana penduduk usia tuanya sudah lebih banyak dari penduduk usia muda (angkatan kerja), dan ini tentu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Negara.
Namun sayangnya pengumuman kebijakan jumlah anak ini mendapat banyak tanggapan dingin di berbagai media sosial Tiongkok. Banyak orang mengatakan bahwa mereka (bahkan) tidak mampu memiliki 1 atau 2 anak.
Pada tanggal 6 Agustus 2018, media resmi PKC, People’s Daily, menerbitkan artikel berjudul “Having a baby is a family matter, as well as a state affair” (生娃是家事也是国事), yang artinya kira2 “Memiliki bayi adalah urusan keluarga, juga urusan Negara”.
“Saya bersedia memiliki 3 anak jika Anda memberi saya 5 juta yuan (±Rp 11,2 miliar),” kata seorang pengguna Weibo.
Bahkan ketika kebijakan 2 anak (Two Child Policy; 两孩政策; Liang hai zhengce) diterapkan pada 2016, banyak keluarga yang tidak mengambil kesempatan ini dan tetap hanya memiliki 1 anak. Alasannya karena beban hidup yang tinggi di wilayah perkotaan negeri tirai bambu.
Keinginan generasi muda di Tiongkok untuk memiliki banyak anak juga sepertinya menurun. Berbagai faktor yang membuat mereka “malas” untuk memiliki banyak anak, seperti tingginya biaya hidup, biaya merawat anak dan orang tua, serta tekanan dunia kerja yang semakin tinggi,
Bahkan, generasi muda disana (kelahiran 1970-an keatas) saat ini sudah menganggap bahwa kebijakan yang menerapkan anak tunggal dalam keluarga merupakan suatu hal yang baik. Lantas untuk apa memiliki anak ke-2? Baca kisah pemuda Tiongkok yang lahir di masa kebijakan 1 Anak berikut untuk lebih mengerti.
Di awal tahun ini, sensus penduduk yang dilakukan sekali dalam satu dekade Tiongkok menunjukkan bahwa populasi penduduk berada pada tingkat yang paling lambat selama 6 dekade terakhir (sejak 1950-an) menjadi 1,41 miliar jiwa.
Data juga menunjukkan bahwa tingkat kesuburan hanya di angka 1,3 anak per pasangan untuk tahun 2020 saja. Ini setara dengan kondisi masyarakat di Jepang dan Italia.
Selama kurang lebih 4 dekade, masyarakat yang tinggal di Tiongkok memang sudah lazim hidup tanpa saudara kandung. Menurut survei kala itu, sebanyak 76% penduduk disana mendukung kebijakan ini. Wajar saja, karena waktu itu Tiongkok lebih miskin daripada Indonesia.
Baca juga : Kontroversi Kebijakan 2 Anak (Two Child Policy) di Tiongkok : Anak Ke-2 Harus Dipajak!
Baca juga : Kebijakan 2 Anak Tiongkok (Two Child Policy) : Beban Ekonomi atau Kebahagiaan?