Last Updated on 26 February 2022 by Herman Tan Manado
Tiongkok menentang dan menganggap ilegal sanksi sejumlah negara barat dan negara2 anggota G7 terhadap Rusia, terkait krisis yang terjadi Ukraina baru2 ini.
“Kami secara konsisten menentang semua bentuk sanksi sepihak yang ilegal itu,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok (MFA), Hua Chunying di Beijing, Kamis (24/2).
Menurutnya, sanksi tidak pernah berjalan efektif dalam memecahkan setiap persoalan. Ia menyebutkan, sejak tahun 2011, Amerika Serikat dan sekutunya telah menjatuhkan sedikitnya 100 sanksi terhadap Rusia.
“Namun apakah sanksi2 AS cs itu bisa menghentikan permasalahan? Apakah dunia ini menjadi lebih baik berkat sejumlah sanksi itu?
Akankah isu Ukraina ini bisa teratasi oleh sanksi AS terhadap Rusia? Akankah keamanan di benua Eropa menjadi lebih terjamin berkat sanksi AS terhadap Rusia itu?” tanya Asisten Menteri Luar Negeri Tiongkok itu.
Hua berharap, agar semua pihak yang berselisih dapat menahan diri, dan menyelesaikan krisis Rusia melalui dialog dan kesepakatan.
“Dalam mengatasi perang Ukraina dan Rusia, AS tidak boleh merugikan hak dan kepentingan Tiongkok,” kata diplomat perempuan itu.
Ia menegaskan, sikap Tiongkok dalam menghadapi krisis Ukraina sudah jelas, bahwa hak dan legitimasi semua negara di dunia ini harus dihormati, tak terkecuali dengan Ukraina.
Baca juga : Perjalanan Perdinastian yang Silih Berganti di Tiongkok Kuno
Beberapa hari sebelu perang, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, menyoroti ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) terkait krisis Ukraina.
“Kalau NATO terus melakukan ekspansi ke arah timur Eropa, apakah ini kondusif dalam memelihara perdamaian dan stabilitas di Eropa?” tanya Wang dalam Konferensi Keamanan Munich (MSC) yang dihadirinya secara daring dari Beijing, Sabtu (19/2).
Menanggapi pertanyaan Ketua MSC Wolfgang Ischinger, ia mengatakan bahwa sebagai produk Perang Dingin yang telah berakhir lama, NATO harus melakukan beberapa penyesuaian.
Ia menyerukan pihak2 yang terkait kembali pada Perjanjian Minsk II tahun 2015 untuk menyelesaikan krisis Ukraina.
“Semua pihak harus memikul tanggung jawab dan bekerja sama demi terciptanya perdamaian dunia, daripada membuat ketegangan2 yang berisiko terjadinya peperangan”, ujar diplomat senior yang memegang jabatan setingkat Menteri koordinator itu.
Ukraina seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan antara Barat dan Timur, bukan menjadi garda terdepan konfrontasi beberapa kekuatan besar, kata Wang melanjutkan.
Sebelumnya, Australia meminta Tiongkok agar segera bersikap dan tidak tinggal diam saja dalam menyikapi krisis Ukraina, yang melibatkan Rusia sebagai sekutu utamanya.
Seperti yang diketahui, beberapa jam pasca pengumuman perang Presiden Rusia Vladimir Putin (pada Kamis, 24/02 pagi waktu setempat), pasukan Rusia resmi menyerbu masuk ke wilayah Ukraina timur.
AS dan negara2 anggota G7 (Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Jepang), didukung juga oleh beberapa negara eropa pro sekutu (bahkan termasuk Taiwan wkwk) menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi terhadap Rusia, karena menggunakan pasukan militer dalam mengatasi krisis Ukraina.
24 jam paca perang, jumlah korban yang jatuh di pihak Ukraina sudah mencapai 137 orang, 57 diantaranya adalah warga sipil. Jumlah tersebut terus merangkak naik setiap jamnya.
Betapa pun kuatnya Ukraina melawan, kekuatan mereka tidak sebanding dengan Rusia. Di lain pihak, blok barat hingga 48 jam pasca perang belum mengirimkan bantuan pasukan ke garis depan.
Yang mereka lakukan hanyalah mengecam dan menjatuhkan sanksi ekonomi. Padahal, bantuan utama yang dibutuhkan Ukraina saat ini adalah dukungan pasukan untuk melawan tentara Rusia.
’’Ukraina ditinggal sendirian melawan Rusia. Siapa (negara) yang siap bertarung bersama kami? Jujur saya tidak melihatnya,’’ kata Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.
Padahal, sejak beberapa bulan hingga hari-H menjelang perang meletus, negara2 NATO (North Atlantic Treaty Organization) sibuk mengompori Ukraina, agar tidak tunduk dan melawan Rusia.
“Mentalitas Uni Eropa dan negara2 barat tidak menunjukkan tekad yang serius. Mereka semua sibuk memberikan saran kepada Ukraina. Namun tidak mungkin bisa melangkah hanya dengan saran,” kata Presiden Turki, Recep Erdogan.