Tampak salah satu umat sedang memasang hio dalam kelenteng

Last Updated on 10 July 2021 by Herman Tan Manado

Istilah Tridharma, atau Sam Kauw (三教; San Jiao) sendiri hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah mempunyai hubungan/afiliasi ke Negara2 lain.

Tridharma lahir karena dahsyatnya misi2 agama Nasrani, yang berorientasi pada menyedot keturunan Tionghoa (orang kelenteng) pada akhir abad ke 19 (1800-an), untuk mengkristenisasi mereka.

Kwee Tek Hoay (郭德懷; Guo Dehuai) mendirikan Sam Kauw Hwee (三教会; San Jiao Hui) setelah Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆; Zhonghua Huiguan) gagal memelihara dan mengembangkan ajaran2 Konghucu.

Beliau menganggap Kong Kauw Hwee yang didirikan di Solo pada tahun 1918 dan di kota2 lain kurang memasyarakat, dan kurang memberikan harapan.

Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) karena klenteng2 di Jawa Timur terancam punah, sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap (salah ditafsirkan) dari pemerintah2 daerah, terhadap kelenteng yang dianggapnya sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965.

Pada tahun 1954, lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI) yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di Bandung.

Istilah Tridharma sendiri adalah nama Indonesia dari Sam Kauw. Maklum, kala itu istilah2 yang berbau Cina harus ganti nama.

Tampak salah satu umat sedang memasang hio dalam kelenteng

Baca juga : Kwee Tek Hoay, Bapak Tridharma Indonesia

Apa yang dimaksud dengan 3 Agama yang dipeluk sebagai Satu (三教合一; Sān Jiao He Yi)? Pada jaman Dinasti apa itu dimulai?

Tiga Agama dianut sebagai Satu (三教合一; San Jiao He Yi) mengacu pada ko-eksistensi Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme yang dipuja bersama dalam satu kuil/kelenteng. Ko-eksistensi ini dimulai sejak jaman Dinasti Song (960 – 1279). Faktanya, seseorang hanya bisa menjadi abadi (immortal) setelah mencapai Tao-Nya (得道; De Dao), atau mencapai tingkat kesempurnaan mutlak.

Jadi masuk akal untuk menyatakan bahwa ketiga agama itu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kesempurnaan.

A. Awal Mula Sam Kauw, a.k.a Tridharma

Sam Kauw Hwee (三教会; San Jiao Hui) didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang2 Tionghoa waktu itu. Karena mengubah agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri.

Dalam pandangan Sam Kauw Hwee, 3 agama ini dapat disebut sebagai agama2 Tionghoa.

“Itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe” (tulisan Kwee Tek Hoay, majalah Sam Kauw Gwat Po, edisi Feb 1939).

Konsep Tridharma (Hanzi: 三教; pinyin: Sanjiao), atau 3 Agama, sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia, tetapi akarnya sudah mulai pertengahan abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme) yang ada.

Banyak bagian kebudayaan lokal Tiongkok yang sudah tercampur2 dengan unsur dari ketiga agama ini.

Tridharma adalah sebuah kepercayaan yang tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma berarti “3 ajaran”. 3 ajaran yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.

Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa, sebagai hasil dari sinkretisme 4 ajaran (dan filsafat) yang mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sepanjang ±2500 tahun!

Karena sebelum Konghucu, agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5, maka umat Tridharma di Indonesia selalu dikelompokkan dalam lingkup agama Buddha, namun hal ini sebenarnya keliru.

Berdasarkan diatas, sudah tentu arti dari Tridharma tidaklah boleh di pelesetkan, berubah menjadi sebuah agama yang baru. Sebagai generasi muda, penulis merasa terpanggil untuk membantu teman2 segenerasi, yang masih tidak mengerti akan arti Tridharma yang sesungguhnya.

Kutipan diatas berdasarkan sejarah Tionghoa di Indonesia, menunjukkan jelas bahwa Tridharma dibentuk Kwee Tek Hoay bertujuan untuk membendung KRISTENISASI yang dilakukan para penginjil barat pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu.

Karena dengan bersatunya umat dari 3 agama, dianggap cukup kuat dalam membendung upaya kristenisasi tersebut, dari pada bergerak secara sendiri2.

Pun sesudah era kemerdekaan, tepatnya pada jaman orde baru, saat rezim Presiden Soeharto berkuasa, peristiwa G30S/PKI 1965 dijadikan pemerintah sebagai yang kuat untuk menutup kelenteng2, dan mengekang semua kegiatan yang berbau Kecinaan!

Alhasil, kelenteng2 dipaksa untuk merubah awalan namanya menjadi Wihara/Vihara, dan otomatis harus “menyelamatkan diri” dengan bernaung dibawah majelis Buddha (WALUBI).

Karena kalau tidak, akibatnya fatal, yaitu kelenteng tersebut (yang menolak) akan dibongkar pemerintah, dan kepemilikan tanahnya diambil alih pemerintah, sama nasibnya seperti sekolah2 Tionghoa pada masa itu.

Sebagai wujud bahwa sebuah kelenteng telah “berubah” menjadi Wihara, maka dimasukkanlah ornamen2 agama Buddha sendiri ke dalam kelenteng2, yang lambat laun menjadi dominan di dalam kelenteng tersebut.

Meski begitu, peran Tridharma tidak dapat dianggap sebelah mata, karena paling tidak waktu itu dapat menyelamatkan ribuan aset kelenteng yang ada di tanah air!

Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya pada akhir rezim orde baru pada tahun 1998, orde reformasi pun mengganti. Pemerintah yang saat itu dipegang Presiden Abdulrahman Wahid mulai melegalkan tradisi dan budaya etnis Tionghoa.

Ini pun dikuatkan oleh Presiden sesudahnya, Megawati Soekarno Putri, yang melegalkan agama Konghucu, ditandai dengan membuat IMLEK sebagai hari libur nasional. Hasilnya, budaya etnis tionghoa pun berkembang di tanah air.

Berakhirnya kekuasaan orde baru membawa angin segar bagi masyarakat indonesia. Reformasi politik yang didesakkan dan diusung oleh para mahasiswa menuntut adanya kebebasan, baik dalam bersuara maupun berpolitik, termasuk dalam memilih dan melaksanakan ajaran agama.

Dalam hal ini, orang2 keturunan Tionghoa yang dulu beragama Konghucu, tetapi kemudian dipaksa mmemeluk agama lain pada masa orde baru, kembali menuntut kebebasan dan pengakuan Konghucu sebagai agama.

Tuntutan tersebut akhirnya dikabulkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 (17 Januari 2000), untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan menyatakan bahwa “penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.

Selanjutnya, Keputusan presiden Nomor 19 Tahun 2000 (9 April 2000) yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan bahwa “hari Tahun Baru Imlek sebagai hari nasional”.

Disini saya kira menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang bagaimana dampak 2 keputusan presiden tersebut terhadap eksistensi agama Buddha di Indonesia, terutama menyangkut perubahan populasi umat Buddha. (dari buku “Setelah Air Mata Kering : Masyarakat Tionghoa Pasca Mei 1998” hal.126).

B. Tridharma Indonesia di Masa era Reformasi

Akhirnya, saking berkembangnya kebebasan itu, kini mulai terasa perpecahan lagi di komunitas Tionghoa, khususnya dalam soal agama. Banyak yang sudah merasa kalau sekarang Tridharma sudah layak dibubarkan, ditandai dengan berdirinya agama Konghucu sebagai sebuah agama yang mandiri ditanah air (MATAKIN).

Demikian pun halnya dengan agama Buddha, yang sudah sejak lama memiliki majelis sendiri (WALUBI). Kini, tersisa agama Tao yang masih belum disahkan menjadi suatu agama. Padahal di Negara2 tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, Taoisme resmi diakui sebagai suatu agama dalam Negaranya.

Tapi istilah Tridharma sendiri sudah sangat mendarah daging bagi kaum tionghoa. Hasilnya, 3 agama terbaur menjadi 1. Meski Taoisme (Dewa-Dewi) umumnya lebih mendominasi, tapi banyak juga yang sudah tercampur ke dalam konsep2 Budhisme, seperti kitab suci, keng (nyanyian suci), dsb.

Padahal, sangatlah tidak etis jika harus mencampur ke-3 ajaran yang mulia tersebut. Masing2 memiliki keunggulannya. Janganlah dikerdilkan, untuk sekadar mencari2 persamaannya!

Hasilnya, banyak anak muda sekarang yang terluntang-lantung tidak mengetahui apa agama mereka yang sebenarnya.

Misalnya jika ditanyai teman sebaya mereka, kebanyakan tidak tahu harus menjawab apa. Karena jika di jawab “saya beragama Buddha” (sesuai KTP), sedangkan dia menyembah Shen Xian. Bahkan disuruh menyebut 1 dari 8 ajaran kebenaran sang Buddha pun belum tentu tahu.

Pada umumnya, generasi muda sekarang ini sudah sangat terdokrinisasi dengan ajaran Tridharma ini. Mereka menganggap bahwa Tridharma memang benar adalah suatu agama.

Dalam perkembangannya, Tridharma sendiri lebih eksis di kelenteng2, tetapi sudah banyak yang keluar lintasan, seperti adanya pengajaran membaca “dhamapada” atau kitab suci umat Budha Theravada.

Sebaiknya jika ingin memang benar2 ingin belajar agama Buddha, pergilah ke Wihara. Disana anda akan lebih mendalami ajarannya. Paling tidak, fungsi kelenteng, selain tempat berkumpulnya umat (etnis Tionghoa), juga sebagai pengarah saja, dengan memberi gambaran umum seputar 3 agama ini (三教; San Jiao; Hokkian : Sam Kauw).

C. Konklusi : Layakkah Tridharma Dijadikan Sebuah Agama?

Kesimpulan yang dapat diambil, Tridharma, kalaupun memang masih diperlukan, ajarlah kebenaran masing2 ajaran agama. Jangan mengkerdilkan, menyederhanakan konsep ajaran masing2, agar bisa mendapat persamaan2 nya.

Kegiatan yang dilakukan pun sebatas sembahyang bersama (pemujaan terhadap Dewa-Dewi, maupun altar Sam Kauw sendiri).

Paling tidak, ini akan terpelihara ikatan kebersamaan yang sudah terjalin selama ini antar sesama orang Tionghoa. Kasian etnis Tionghoa sendiri. Selain menjadi minoritas di negeri ini, kita juga menjadi sasaran dari agama2 lain untuk ditarik umatnya. Jangan sampai didalamnya malah terjadi persaingan, gontok-gontokan lagi.

Begitu pun dalam hal pengajaran agama, apabila di kelenteng Tridharma tersebut ada pengajaran atau sekolah minggu, ajarlah sesuai konsep ajaran masing2. Bisa juga secara bergiliran), janganlah di campur2, atau menggunakan metode cocoklogi untuk saling menghubungkan satu dengan yang lain.

Agama Budha diajar Dhamma, agama Konghucu diajar keteladan ajaran nabi Kongzi dalam bermasyarakat, dan agama Tao diajar ilmu2 Kedewaan. Sama2 untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Jangan ajarkan pembauran (sinkretisme) 3 agama. Karena walau bagaimanapun, beberapa dokrin/konsep mendasar dalam 3 agama ini jelas berbeda.

Salah satunya seperti dalam konsep kematian/reinkarnasi, dimana dalam Konghucu sendiri tidak mengakui adanya reinkarnasi, sementara dalam Buddha, memungkinkan manusia dan Dewa bereinkarnasi sebagai hewan/binatang (istilahnya turun kasta).

Catatan : Merupakan pandangan penulis pribadi.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

3 thoughts on “Tridharma (San Jiao; Sam Kauw) Masa Kini, Layakkah Dijadikan Sebuah Agama?”
  1. Saya ingin belajar nih, Tridharma. Saya kagum dgn kebudayaan dan kepercayaan yg dianut saudara2 dr Tionghoa. Mohon bimbingannya, Krn saya mau belajar. Saya sdh banyak koleksi buku ttg sejarah Tiongkok terutama dari Dinasty ke Dinasty.

  2. Hmmm semakin menarik untuk d perdebatkan tulisan ini 🙂
    selama ini saya membaca tulisan tentang tridharma bnyak yang masih menyamarkan tentang keberadaan tridharma, apakah sebagai sebuah aliran, agama atau hnya sebuah organisasi..
    namun dalam tulisan ini saya menemukan bahwa tridharma hanya sebagai sebuah perhimpunan, bukan agama ataupun aliran agama…
    menurut saya hal ini perlu dikaji ulang, jika berbicara scara subjektif dan berdasarkan apa yang kita amati tentu beragam pemandangan yang akan dihasilkan, dan pastinya tidak akan menemui titik temu.
    untuk itu mari kita lihat dari perspektif keilmuan, apa sih yang dikatakan sebagai agama? apa sih yang dikatakan sebagai aliran?
    semua itu itu ada indikator2 tersendiri, jadi terserah ketika seseorang bilang ini bukan agama, ini bukan aliran, ini bukan itu, dsb. tapi jika dilihat ia sudah memenuhi indikator sebagai agama, maka ia adalah agama, jika hanya sebgai aliran maka ia aliran,, atau yang lainnya.
    ya semoga aja yang akan datang ada yang melakukan riset tentang hal ini,,,
    🙂

    by g4

    Cat : Forward from http://universal.hermantan.com

  3. ANGGIE Tjetje pernah membuat disertasi tentang kerancuan nama Tridharma di Indonesia. Menurutnya, tidak pernah ada sebenarnya penyebutan dan pengakuan untuk agama Tridharma. Pemahaman masyarakat Indonesia perihal agama Tridharma ini, menurut Aggie Tjeje adalah sebuah kecelakaan.

    Pasalnya, kata Aggie, di negeri China sesungguhnya tidak pernah ada penggabungan pemahaman itu. Selain Islam dan Kristen, tentunya, ada empat agama lainnya yang diakui di Negeri Tirai Bambu tersebut. Keempat agama itu adalah, Khonghucu, Taoisme, Buddha Mahayana versi China, dan Agama China itu sendiri atau biasa disebut agama rakyat atau volk religi.

    “Agama rakyat ini bersifat anonim, tanpa nama, sama halnya dengan agama Yahudi. Disebut demikian karena sesuai dengan suku bangsa yang menganutnya. Sama halnya dengan Hindu yang berasal dari wilayah hindustan,“ terangnya.

    Menurut Aggie, akibat kecelakaan ini hingga sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa tiga agama tadi adalah sama. Padahal, lanjutnya, ketiganya tidak pernah bersatu kecuali menyoal falsafahnya.

    “Umat ketiga agama ini sebenarnya beragama China. Tapi karena kesalahpahaman akhirnya muncul trend orang-orang ke Buddha ayo, ke Khonghucu ayo, dan ke yang lainnya juga ayo. Padahal tidak pernah ada gabungan tiga agama itu. Semuanya muncul 2500 tahun lalu, sementara orang China sudah beragama sejak 7000 tahun lalu,“ paparnya.

    Untuk di Indonesia sendiri, kata Aggie, karena waktu itu hanya Buddha yang diakui, maka orang Tionghoa kebanyakan akhirnya memakai topeng Buddha di KTP, meskipun agama yang dianutnya adalah Taoisme atau Khonghucu.

    “Kini Khonghucu sudah diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Tinggal Taoisme yang belum. Semoga saja dalam waktu yang tidak lama lagi status Taoisme sebagai keyakinan dan agama juga bisa menyusul diakui di Indonesia,” harap Aggie. (Alidrian fahwi)

    http://www.indochinatown.com/aggie-tjetje-berharap-taoisme-menjadi-agama-resmi-di-indonesia/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?