Last Updated on 16 February 2021 by Herman Tan Manado
Kwee Tek Hoay (郭德懷; Guo Dehuai) mendirikan Sam Kauw Hwee (三教会; San Jiao Hui) setelah Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆; Zhonghua Huiguan) gagal memelihara dan mengembangkan ajaran2 Konghucu.
Beliau menganggap Kong Kauw Hwee yang didirikan di Solo pada tahun 1918 dan di kota2 lain kurang memasyarakat, dan kurang memberikan harapan.
Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) karena klenteng2 di Jawa Timur terancam punah, sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap (salah ditafsirkan) dari pemerintah2 daerah, terhadap kelenteng yang dianggapnya sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965.
Pada tahun 1954, lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI) yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di Bandung.
Istilah Tridharma sendiri adalah nama Indonesia dari Sam Kauw. Maklum, kala itu istilah2 yang berbau Cina harus ganti nama.
Baca juga : Kwee Tek Hoay, Bapak Tridharma Indonesia
A. Peran Tridharma (Sam Kauw) di Indonesia
Sam Kauw Hwee (三教会; San Jiao Hui) didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang2 Tionghoa waktu itu. Karena mengubah agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri.
Dalam pandangan Sam Kauw Hwee, 3 agama ini dapat disebut sebagai agama2 Tionghoa.
“Itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe” (tulisan Kwee Tek Hoay, majalah Sam Kauw Gwat Po, edisi Feb 1939).
Konsep Tridharma (Hanzi: 三教; pinyin: Sanjiao), atau 3 Agama, sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia, tetapi akarnya sudah mulai pertengahan abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme) yang ada.
Banyak bagian kebudayaan lokal Tiongkok yang sudah tercampur2 dengan unsur dari ketiga agama ini.
Tridharma adalah sebuah kepercayaan yang tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma berarti “3 ajaran”. 3 ajaran yang dimaksud adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.
Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa, sebagai hasil dari sinkretisme 3 ajaran (dan filsafat) yang mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sepanjang ±2500 tahun!
Karena sebelum Konghucu, agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5, maka umat Tridharma di Indonesia selalu dikelompokkan dalam lingkup agama Buddha, namun hal ini sebenarnya keliru.
Kutipan diatas berdasarkan sejarah Tionghoa di Indonesia, menunjukkan jelas bahwa Tridharma dibentuk Kwee Tek Hoay, bertujuan untuk membendung KRISTENISASI yang dilakukan para penginjil barat pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu.
Karena dengan bersatunya umat dari 3 agama, dianggap cukup kuat dalam membendung upaya kristenisasi tersebut, dari pada bergerak secara sendiri2.
Baca juga : Klenteng di Indonesia; Asal Usul dan Berbagai Jenisnya
Baca juga : G30S/PKI 1965; Apa Efeknya Bagi Tionghoa di Indonesia?
Pun sesudah era kemerdekaan, tepatnya pada jaman orde baru, saat rezim Presiden Soeharto berkuasa, peristiwa G30S/PKI 1965 dijadikan pemerintah sebagai yang kuat untuk menutup kelenteng2, dan mengekang semua kegiatan yang berbau Kecinaan!
Alhasil, kelenteng2 dipaksa untuk merubah awalan namanya menjadi Wihara/Vihara, dan otomatis harus “menyelamatkan diri” dengan bernaung dibawah majelis Buddha (WALUBI).
Karena kalau tidak, akibatnya fatal, yaitu kelenteng tersebut (yang menolak) akan dibongkar pemerintah, dan kepemilikan tanahnya diambil alih pemerintah, sama nasibnya seperti sekolah2 Tionghoa pada masa itu.
Sebagai wujud bahwa sebuah kelenteng telah “berubah” menjadi Wihara, maka dimasukkanlah ornamen2 agama Buddha sendiri ke dalam kelenteng2, yang lambat laun menjadi dominan di dalam kelenteng tersebut.
Meski begitu, peran Tridharma sendiri tidak dapat dianggap sebelah mata, karena paling tidak, pada waktu itu dapat menyelamatkan ratusan kelenteng (aset) di tanah air.
B. Kwee Tek Hoay; Bapak Tridharma Indonesia
Kwee Tek Hoay menganut ajaran Budha Tridharma yang taat. Pada tahun 1932, beliau menerbitkan majalah berbahasa Indonesia yang berisikan ajaran Agama Buddha dengan nama Moestika Dharma.
Dari majalah yang ditulis beliau, diketahui bahwa pada waktu itu di Indonesia telah berdiri satu organisasi Buddhis yang bernama Java Buddhist Association.
Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton, Birma (saat ini Myanmar), dan mengacu pada aliran Buddha Theravada, di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst.
Dengan melajunya perkembangan jaman, membuat mereka (peranakan Tionghoa) mengalami krisis identitas kebudayaan dan agama.
Kwee Tek Hoay berusaha mengembalikan kebudayaan leluhurnya, dengan karya tulisnya tentang “Agama Tionghoa”, yang kemudian dimuat dalam sebuah majalah Sam Kauw Gwat Po.
Baca juga : Tridharma Masa Kini : Layakkah Dijadikan Sebuah Agama?
Agama Tionghoa inilah yang kelak menginspirasi sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia untuk mendirikan “agama baru” di Indonesia, AGAMA TRIDHARMA.
Pendirian Agama ini juga ditentang oleh berbagai pemuka agama di Indonesia, seperti dari Konghucu, Buddha, dan Taoisme sendiri, karena Tridharma sebenarnya merupakan bentuk sinkretisme agama, atau bentuk pengkerdilan akan ajaran agama masing2.
Ajaran triharma yang umumnya berkembang di kelenteng2 Indonesia membentuk satu organisasi sendiri, yang bernama TITD (tempat Ibadah Tri Dharma).
Tridharma dalam perkembangannya di Indonesia, sejatinya telah menolong banyak kelenteng dari ancaman pemusnahan atau perambil-alihan oleh pemerintahan Orde Baru, dimana waktu itu terpaksa bergabung ke dalam organisasi WALUBI Buddha.
Ong Kie Tjay, yang juga tokoh Tionghoa pada waktu itu membentuk TITD – Tempat Ibadat Tri Dharma.
Karena kala itu, kelenteng2 di propinsi Jawa Timur (serta di wilayah Jawa) terancam punah, sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap dari pemerintah daerah terhadap kelenteng, yang dianggap sebagai Lembaga Kecinaan Non Agama pasca G30S/PKI tahun 1965.
Namun seiring keterbukaan pemerintah di era Orde Reformasi (1998), telah menjadikan Konghucu sebagai sebuah agama yang resmi diakui di Indonesia; dan tidak menutup kemungkinan kelak agama Tao (Taoisme) juga akan mengikuti hal serupa.
Hal ini jelas akan mengurangi peran organisasi Tridharma (TITD), yang kegiatannya terbatas pada lingkup ajang kumpul dan sembahyang bersama di kelenteng2; sementara pengajaran dan unsur ritual diserahkan ke tempat ibadah agama masing2.
Baca juga : Kwee Tek Hoay, Bapak Tridharma Indonesia